Rabu, 17 Desember 2014

Berfikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah



Description: logo1.jpeg
Berfikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah






Oleh:
1.      Wahyu Bagustiadi            (120210302014)







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya dan karunianya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.Dengan terselesainya makalah ini, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan atas terselesainya makalah ini.
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai bahan diskusi mata kuliah “Strategi Belajar Mengajar” dan sebagai media untuk lebih mendalami setiap unit yang akan dipelajari dan dibahas dalam mata kuliah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih belum sempurna. oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk memperbaiki makalah yang telah dibuat. Akhirnya semoga makalah ini dapat berguna bagi kita, amien.





                                                                                   
 Jember, 1 Oktober  2014


                                                                                                                                                                                                                        Penyusun


DAFTAR ISI





BAB I. PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang

Proses pembelajaran sebagian besar masih menjadikan anak tidak bisa, menjadi bisa. Kegiatan belajar berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan menghadiri, mendengar dan mencatat penjelasan guru, serta menjawab secara tertulis soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian. Pembelajaran baru diimplementasikan pada tataran proses menyampaikan, memberikan, mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa.
Dalam tataran ini siswa yang sedang belajar bersifat pasif, menerima apa saja yang diberikan guru, tanpa diberikan kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuan yang dibutuhkan dan diminatinya. Siswa sebagai manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia karena diberi otak, dibelenggu oleh guru. Siswa yang jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya diberdayagunakan, difasilitasi, dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk berpikir, bernalar, berkolaborasi, untuk mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan minat dan kebutuhannya serta diberi kebebasan untuk belajar. Pemahaman yang keliru bahkan telah menjadi "mitos" bahwa belajar adalah proses menerima, mengingat, mereproduksi kembali pengetahuan yang selama ini diyakini banyak tenaga keguruan perlu dirubah. Jalaluddin Rakhmad (2005) dalam buku Belajar Cerdas, menyatakan bahwa belajar itu harus berbasis otak. Dengan kata lain revolusi belajar dimulai dari otak. Otak adalah organ paling vital manusia yang selama ini kurang dipedulikan oleh guru dalam pembelajaran. Pakar komunikasi mengungkapkan kalau kita ingin cerdas maka kita harus terlebih dahulu menumbangkan mitos-mitos tentang kecerdasan
Sebenarnya para guru telah menyadari bahwa pembelajaran berpikir agar anak menjadi cerdas, kritis, dan kreatif serta mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-­hari adalah penting. Kesadaran ini juga telah mendasari pengembangan kurikulum kita yang kini lebih lebih mengedepankan pembelajaran konstekstual. Akan tetapi sebagian benar guru belum berbuat, belum merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses belajar (Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998)
Menurut pandangan Slavin (1997) dalam proses pembelajaran guru hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuannnya sendiri dalam dengan mendayagunakan otaknya untuk berpikir. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara-cara membelajarkan, mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan lebih relevan bagi kebutuhan siswa. Caranya dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Menurut Nur (1999), guru sebaiknya hanya memberi "tangga" yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.





1.2 Rumusan Masalah


1.Bagaimanakah teori berpikir kritis?
2.Bagaimanakah faktor berpikir kritis?
3.Bagaimanakahmengembangkan cara berpikir kritis?
4. BagaimanakahStrategi dalam pembelajaran?

1.3 Tujuan


Ø Untuk mengetahui Teori berfikir Kritis.
Ø Untuk mengetahui faktor berpikir kritis.
Ø .Untuk mengetahui bagaimana mengembangkan berpikir kritis.
Ø Untuk mengetahui strategi dalam pembelajaran

1.4 Manfaat

Ø Dapat mengetahuiTeori berfikir Kritis..
Ø Dapat mengetahui faktor berpikir kritis.
Ø Dapat mengetahui bagaimana mengembangkan berpikir kritis.
Ø Dapat mengetahui strategi dalam pembelajaran



BAB II. PEMBAHASAN


2.1 Teori Berfikir Kritis

   Berpikir kritis (critical thinking) adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi. Arthur L. Costa (1985:310) menggambarkan bahwa berpikir kritis adalah: "using basic thinking processes to analyze arguments and generate insight into particular meanings and interpretation; also known as directed thinking". R. Matindas (1996:71) menyatakan bahwa: "Berpikir kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan untuk mengevaluasi kebenaran sebuah pernyataan. Umumnya evaluasi berakhir dengan putusan untuk menerima, menyangkal, atau meragukan kebenaran pernyataan yang bersangkutan".

Steven (1991) memberikan pengertian berpikir kritis yaitu berpikir dengan benar dalam memperoleh pengetahuan yang relevan dan reliable.Berpikir kritis adalah berpikir nalar, reflektif, bertanggung jawab, dan mahir berpikir.Dari pengertian Steven tersebut, seseorang yang berpikir dengan kritis dapat menentukan informasi yang relevan.Berpikir kritis merupakan kegiatan memproses informasi yang akurat sehingga dapat dipercaya, logis, dan kesimpulannya meyakinkan, dan dapat membuat keputusan yang bertanggung jawab.Seseorang yang berpikir kritis dapat bernalar logis dan membuat kesimpulan yang tepat.

Memang banyak cara kita dalam mendefinisikan berpikir kritis, misalnya Dewey mengartikan berpikir kritis sebagai "... essentially problem solving"; Ennis (dalam L.Costa,1985): "the process of reasonably deciding what to believe"; atau juga dapat didefinisikan sebagai :"... a search for meaning, not the acquisition of knowledge" (Arendt,1977). Ennis (dalam L.Costa,1985) dalam bentuk working definition menggambarkan bahwa : "critical thinking is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to believe". Gega (1977:78) Orang yang berpikir kritis adalah ".... who base sugesstion and conclusions on evidence ..." yang ditandai dengan: menggunakan bukti untuk mengukur kebenaran kesimpulan, menunjukkan pendapat yang kadang kontradiktif dan mau mengubah pendapat jika ternyata ada bukti kuat yang bertentangan dengan pendapatnya. Senada dengan apa yang dikemukakan Gega, The Statewide History-social science Assesment Advisory commitee (USA) mendefinisikan berpikir kritis sebagai " ... those behaviors associated with deciding what to believe and do".

Proses berpikir kritis dapat digambarkan seperti metode ilmiah. Steven (1991) mengutarakan bahwa berpikir kritis adalah metode tentang penyelidikan ilmiah, yaitu: mengidentifikasi masalah, merumuskan hipotesis, mencari dan mengumpulkan data-data yang relevan, menguji hipotesis secara logis dan evaluasi serta membuat kesimpulan yang reliable.Krulik dan Rudnick (1993) mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi masalah.Termasuk di dalam berpikir kritis adalah mengelompokan, mengorganisasikan, mengingat dan menganalisis informasi.Berpikir kritis memuat kemampuan membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi yang diperlukan dengan yang tidak ada hubungan.Hal ini juga berarti dapat menggambarkan kesimpulan dengan sempurna dari data yang diberikan, dapat menentukan ketidakkonsistenan dan kontradiksi di dalam kelompok data.Berpikir kritis adalah analitis dan reflektif.

Menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat keputusan yang rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau melakukan sesuatu. Dari definisi Ennis tersebut dapat diungkapkan beberapa hal penting.Berpikir kritis difokuskan ke dalam pengertian sesuatu yang penuh kesadaran dan mengarah pada sebuah tujuan.Tujuan dari berpikir kritis akhirnya memungkinkan kita untuk membuat keputusan.

R. Matindas Juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak terlalu membedakan antara berpikir kritis dan berpikir logis padahal ada perbedaan besar antara keduanya yakni bahwa berpikir kritis dilakukan untuk membuat keputusan sedangkan berpikir logis hanya dibutuhkan untuk membuat kesimpulan.Pada dasarnya pemikiran kritis menyangkut pula pemikiran logis yang diteruskan dengan pengambilan keputusan.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa berpikir kritis itu meliputi dua langkah besar yakni melakukan proses berpikir nalar (reasoning) dan diikuti dengan pengambilan keputusan/ pemecahan masalah (deciding/problem solving). Dengan demikian dapat pula diartikan bahwa tanpa kemampuan yang memadai dalam hal berpikir nalar (deduktif, induktif dan reflektif), seseorang tidak dapat melakukan proses berpikir kritis secara benar. Berpikir kritis berfokus pada apakah meyakini atau melakukan sesuatu mengandung pengertian bahwa siswa yang berpikir kritis tidak hanya percaya begitu saja apa yang dijelaskan oleh guru. Siswa berusaha mempertimbangkan penalarannya dan mencari informasi lain untuk memperoleh kebenaran.



2.2 Faktor yang Mempengaruhi Berfikir Kritis


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi berpikir kritis siswa, diantaranya:
1)      Kondisi fisik: menurut Maslow dalam Siti Mariyam (2006:4) kondisi fisik adalah kebutuhan fisiologi yang paling dasar bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Ketika kondisi fisik siswa terganggu, sementara ia dihadapkan pada situasi yag menuntut pemikiran yang matang untuk memecahkan suatu masalah maka kondisi seperti ini sangat mempengaruhi pikirannya. Ia tidak dapat berkonsentrasi dan berpikir cepat karena tubuhnya tidak memungkinkan untuk bereaksi terhadap respon yanga ada.
2)      Motivasi: Kort (1987) mengatakan motivasi merupakan hasil faktor internal dan eksternal. Motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan ataupun pembangkit tenaga seseorang agar mau berbuat sesuatu atau memperlihatkan perilaku tertentu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menciptakan minat adalah cara yang sangat baik untuk memberi motivasi pada diri demi mencapai tujuan. Motivasi yang tinggi terlihat dari kemampuan atau kapasitas atau daya serap dalam belajar, mengambil resiko, menjawab pertanyaan, menentang kondisi yang tidak mau berubah kearah yang lebih baik, mempergunakan kesalahan sebagai kesimpulan belajar, semakin cepat memperoleh tujuan dan kepuasan, mempeerlihatkan tekad diri, sikap kontruktif, memperlihatkan hasrat dan keingintahuan, serta kesediaan untuk menyetujui hasil perilaku.
3)     Kecemasan: keadaan emosional yang ditandai dengan kegelisahan dan ketakutan terhadap kemungkinan bahaya. Menurut Frued dalam Riasmini (2000) kecemasan timbul secara otomatis jika individu menerima stimulus berlebih yang melampaui untuk menanganinya (internal, eksternal). Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat; a) konstruktif, memotivasi individu untuk belajar dan mengadakan perubahan terutama perubahan perasaan tidak nyaman, serta terfokus pada kelangsungan hidup; b) destruktif, menimbulkan tingkah laku maladaptif dan disfungsi yang menyangkut kecemasan berat atau panik serta dapat membatasi seseorang dalam berpikir.
4)     Perkembangan intelektual: intelektual atau kecerdasan merupakan kemampuan mental seseorang untuk merespon dan menyelesaikan suatu persoalan, menghubungkan satu hal dengan yang lain dan dapat merespon dengan baik setiap stimulus. Perkembangan intelektual tiap orang berbeda-beda disesuaikan dengan usia dan tingkah perkembanganya. Menurut Piaget dalam Purwanto (1999) semakin bertambah umur anak, semakin tampak jelas kecenderungan dalam kematangan proses.
Rath et al (1966) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan berpikir kritis adalah interaksi antara pengajar dan siswa.Siswa memerlukan suasana akademik yang memberikan kebebasan dan rasa aman bagi siswa untuk mengekspresikan pendapat dan keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran.

2.3 Bagaimana Mengembangkan Berpikir Kritis

Pengembangan kemampuan berpikir kristis dan kreatif serta memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan siswa adalah penting. Kesadaran ini perlu dijadikan pijakan dalam pengembangan kurikulum dengan mengedepankan pembelajaran konstekstual.Untuk itu para guru perlu berbuat, merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses belajar. Kemampuan berpikir kristis dan kreatif dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran. Kemampuan itu da mencakup beberapa hal, diantaranya, (1) membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan bijak, (2) mengaplikasikan pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di dalam atau di luar sekolah, (3) menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif dan inovatif, (4) mengatasi cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit, (5) meningkatkan aspek kognitif dan afektif, dan (6) bersikap terbuka dalam menerima dan memberi pendapat, membuat pertimbangan berdasarkan alasan dan bukti, serta berani memberi pandangan dan kritik
a)      Evaluasi kemampuan berpikir kritis
Evaluasi merupakan proses pengukuran pencapaian tujuan yang diinginkan dengan menggunakan metode yang teruji validitas dan reliabilitasnya. Beberapa penelitian mengevaluasi kemampuan berpikir kritis dari aspek keterampilan intelektual seperti keterampilan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang berbasis taxonomi Bloom. Sedangkan tujuan pengajaran berpikir kritis meliputi ketrampilan dan strategi kognitif, serta sikap.
Colucciello menggabungkan berbagai elemen yang digunakan dalam penelitian dan komponen pemecahan masalah serta kriteria yang digunakan dengan komponen ketrampilan dan sikap berpikir kritis. Elemen tersebut antara lain menentukan tujuan, menyusun pertanyaan atau membuat kerangka masalah, menunjukkan bukti, menganalisis konsep, interpretasi, asumsi, perspektif yang digunakan, keterlibatan, dan kesesuaian. Dengan kriteria antara lain: kejelasan, ketepatan, ketelitian, keterkaitan, keluasan, kedalaman, dan logika. Dia juga membandingkan dengan inventory yang sudah ada seperti California Critical Thinking Test (CCTT) untuk mengevaluasi ketrampilan berpikir kritis dan Critical Thinking Disposition Inventory (CTDI) untuk mengevaluasi sikap berpikir kritis.

2.4 Strategi dalam pembelajaran

Kember (1997) menyatakan bahwa kurangnya pemahaman pengajar tentang berpikir kritis menyebabkan adanya kecenderungan untuk tidak mengajarkan atau melakukan penilaian keterampilan berpikir pada siswa. Seringkali pengajaran berpikir kritis diartikan sebagai problem solving, meskipun kemampuan memecahkan masalah merupakan sebagian dari kemampuan berpikir kritis (Pithers RT, Soden R., 2000).

Faktor yang menentukan keberhasilan program pengajaran keterampilan berpikir adalah pelatihan untuk para pengajar. Pelatihan saja tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan keterampilan berpikir jika penerapannya tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, tidak disertai dukungan administrasi yang memadai, serta program yang dijalankan tidak sesuai dengan populasi siswa (Cotton K., 1991).

Secara umum pembelajaran IPS harus mengikuti aturan yang ada dalam Standar Isi, salah satunya berpikir kritis. Namun, dalam materi sejarah strategi pembelajaran berpikir kritis ini dapat dilakukan melalui sajian sejumlah fakta yang didapat dari bacaan atau sumber lainnya. Anak didik dilatih menginterpretasikan untuk membangun suatu struktur proses perubahaan peristiwa. Dalam hal ini secara langsung telah dilatih anak didik memahami bahwa suatu peristiwa memiliki proses perubahan. Ini salah satu ciri khas yang tidak diperoleh anak didik melalui pembelajaran lainnya.

Setelah terbentuk pola perubahan, anak dilatih berpikir kritis pada setiap perubahan. Latihan pertama, adalah anak disuruh mencari fakta, membuat konsep dan menemukan sebab-akibat dari setiap proses perubahan dalam peristiwa sejarah. Latihan pertama, anak didik ditantang untuk membuktikan terjadi perubahan melalui fakta (kejadian) masing-masing proses perubahan (how), kapan terjadinya perubahan (when), dimana terjadinya (where) dan siapa pelakunya (Who). Latihan kedua, peserta didik dilatih menginterpretasi untuk menentukan konsep setiap fakta (kejadian) dengan memunculkan pertanyaan ‘apa namanya itu’ (What)? Terakhir, peserta didik dilatih mencari penyebab dari masing-masing perubahan, dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan, mengapa terjadi perubahan (Why)? Demikian selanjutnya untuk perkembangan setiap perubahan dalam peristiwa sejarah latihan berulang ini akan membentuk keterampilan berpikir kritis seperti yang dimuat dalam kurikulum 2006. Salah satu contohnya yaitu, Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1297 – 1326 M? apa penyebabnya? Siapa rajanya? bagaimana pemerintahannya? mengapa ia mencapai puncak kejayaan? kapan terjadinya?

Strategi tersebut membuktikan dua hal dalam pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, yaitu:
  1. Dengan menggunakan konteks yang relevan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis sekaligus meningkatkan prestasi akademisnya.
  2. Cara penilaian yang memerlukan telaah yang lebih dalam, mendorong siswa untuk belajar secara lebih bermakna daripada sekedar belajar untuk menghapal.
Pertanyaan diberikan setelah memperoleh fakta-fakta dari setiap peristiwa sejarah yang akan dipelajari. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang diberikan telah disusun oleh pendidik dengan konsep yang jelas sehingga tidak memberikan pengalaman bagi siswa untuk menentukan informasi yang diperlukan untuk membangun konsep sendiri. Salah satu karakter seorang yang berpikir kritis adalah self regulatory, sehingga pengajaran tersebut dapat dikombinasikan dengan strategi lain agar siswa dapat menentukan informasi secara mandiri. Sehingga setiap siswa memperoleh kesempatan untuk menyampaikan argumentasi dari jawaban pertanyaan yang diberikan. Penulis beranggapan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk berpikir kritis dapat dimasukkan ke dalam study guide sebagai salah satu sumber belajar.

Pembelajaran kolaboratif melalui diskusi kelompok kecil juga direkomendasikan sebagai strategi yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Resnick L., 1990; Rimiene V., 2002; Gokhale A.A., 2005). Dengan berdiskusi siswa mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi pemahamannya dan mengevaluasi pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi berpikir dari orang lain untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang kurang untuk membangun pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap yang diperlukan seperti menerima kritik dan menyampaikan kritik dengan cara yang santun.






BAB III. PENUTUP


3.l Kesimpulan

Strategi pengajaran yang mendorong siswa berpikir kritis terhadap pokok bahasan materi pelajaran sejarah dapat menggunakan berbagai strategi pengajaran yang menggunakan pendekatan di bawah ini:
  • Pembelajaran Aktif
  • Pembelajaran Kolaboratif
  • Pembelajaran Kontekstual
  • Menggunakan pendekatan higher order thinking
  • Self directed learning
Kombinasi dari berbagai strategi di lebih dianjurkan oleh karena dapat mencapai berbagai aspek dari komponen berpikir kritis. Teknologi pengajaran yang menerapkan kombinasi dari berbagai strategi yang ada saat ini misalnya Problem Based Learning (PBL). Para pendidik perlu mengembangkan strategi pengajaran tersebut dalam pengajaran agar siswa dapat belajar materi pembelajaran sejarah melalui proses berpikir kritis. Dengan demikian siswa dapat memberi makna yang lebih dalam (bukan sekedar mendapat materi yang dalam) dari materi yang dipelajari.

Berpikir kritis dalam proses pembelajaran sejarah ini dapat terlaksana jika seluruh fakta-fakta mengenai peristiwa sejarah tersebut dapat ditemukan, dengan cara guru dan siswa memiliki sumber dan bahan materi yang lengkap


DAFTAR PUSTAKA


Mestika Zed. 2003. Metodologi Sejarah. Padang: Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UNP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar