
Berfikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah
Oleh:
1.
Wahyu Bagustiadi (120210302014)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya dan karunianya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.Dengan
terselesainya makalah ini, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan atas terselesainya makalah ini.
Makalah ini
disusun dengan tujuan sebagai bahan diskusi mata kuliah “Strategi Belajar Mengajar”
dan sebagai media untuk lebih mendalami setiap unit yang akan dipelajari dan
dibahas dalam mata kuliah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih
belum sempurna. oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
diperlukan untuk memperbaiki makalah yang telah dibuat. Akhirnya
semoga makalah ini dapat berguna bagi kita, amien.
Jember, 1 Oktober
2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Proses
pembelajaran sebagian besar masih menjadikan anak tidak bisa, menjadi bisa.
Kegiatan belajar berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan menghadiri,
mendengar dan mencatat penjelasan guru, serta menjawab secara tertulis
soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian. Pembelajaran baru
diimplementasikan pada tataran proses menyampaikan, memberikan, mentransfer
ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa.
Dalam tataran
ini siswa yang sedang belajar bersifat pasif, menerima apa saja yang diberikan
guru, tanpa diberikan kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuan yang
dibutuhkan dan diminatinya. Siswa sebagai manusia ciptaan Tuhan yang paling
sempurna di dunia karena diberi otak, dibelenggu oleh guru. Siswa yang
jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya diberdayagunakan, difasilitasi,
dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk berpikir, bernalar, berkolaborasi, untuk
mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan minat dan kebutuhannya serta diberi
kebebasan untuk belajar. Pemahaman yang keliru bahkan telah menjadi
"mitos" bahwa belajar adalah proses menerima, mengingat, mereproduksi
kembali pengetahuan yang selama ini diyakini banyak tenaga keguruan perlu
dirubah. Jalaluddin Rakhmad (2005) dalam buku Belajar Cerdas, menyatakan bahwa
belajar itu harus berbasis otak. Dengan kata lain revolusi belajar dimulai dari
otak. Otak adalah organ paling vital manusia yang selama ini kurang dipedulikan
oleh guru dalam pembelajaran. Pakar komunikasi mengungkapkan kalau kita ingin
cerdas maka kita harus terlebih dahulu menumbangkan mitos-mitos tentang
kecerdasan
Sebenarnya
para guru telah menyadari bahwa pembelajaran berpikir agar anak menjadi cerdas,
kritis, dan kreatif serta mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan
kehidupan mereka sehari-hari adalah penting. Kesadaran ini juga telah
mendasari pengembangan kurikulum kita yang kini lebih lebih mengedepankan
pembelajaran konstekstual. Akan tetapi sebagian benar guru belum berbuat, belum
merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses belajar
(Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998)
Menurut
pandangan Slavin (1997) dalam proses pembelajaran guru hanya semata-mata memberikan
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuannnya sendiri dalam
dengan mendayagunakan otaknya untuk berpikir. Guru dapat membantu proses ini,
dengan cara-cara membelajarkan, mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan
lebih relevan bagi kebutuhan siswa. Caranya dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak
mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka
sendiri untuk belajar. Menurut Nur (1999), guru sebaiknya hanya memberi
"tangga" yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang
lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.Bagaimanakah
teori berpikir kritis?
2.Bagaimanakah faktor
berpikir kritis?
3.Bagaimanakahmengembangkan
cara berpikir kritis?
4. BagaimanakahStrategi
dalam pembelajaran?
1.3 Tujuan
Ø Untuk mengetahui Teori berfikir Kritis.
Ø Untuk
mengetahui faktor berpikir kritis.
Ø .Untuk
mengetahui bagaimana mengembangkan berpikir kritis.
Ø Untuk
mengetahui strategi dalam pembelajaran
1.4 Manfaat
Ø Dapat mengetahuiTeori berfikir Kritis..
Ø Dapat mengetahui faktor berpikir
kritis.
Ø Dapat mengetahui bagaimana
mengembangkan berpikir kritis.
Ø Dapat mengetahui strategi dalam pembelajaran
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Teori Berfikir Kritis
Berpikir
kritis (critical thinking) adalah proses mental untuk menganalisis atau
mengevaluasi informasi. Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil
pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi. Arthur L. Costa (1985:310)
menggambarkan bahwa berpikir kritis adalah: "using basic thinking processes to analyze arguments and generate
insight into particular meanings and interpretation; also known as directed
thinking". R. Matindas (1996:71) menyatakan bahwa: "Berpikir
kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan untuk mengevaluasi kebenaran
sebuah pernyataan. Umumnya evaluasi berakhir dengan putusan untuk menerima,
menyangkal, atau meragukan kebenaran pernyataan yang bersangkutan".
Steven (1991) memberikan
pengertian berpikir kritis yaitu berpikir dengan benar dalam memperoleh
pengetahuan yang relevan dan reliable.Berpikir kritis adalah berpikir nalar,
reflektif, bertanggung jawab, dan mahir berpikir.Dari pengertian Steven
tersebut, seseorang yang berpikir dengan kritis dapat menentukan informasi yang
relevan.Berpikir kritis merupakan kegiatan memproses informasi yang akurat
sehingga dapat dipercaya, logis, dan kesimpulannya meyakinkan, dan dapat
membuat keputusan yang bertanggung jawab.Seseorang yang berpikir kritis dapat
bernalar logis dan membuat kesimpulan yang tepat.
Memang banyak cara kita dalam mendefinisikan berpikir
kritis, misalnya Dewey mengartikan berpikir kritis sebagai "... essentially problem solving";
Ennis (dalam L.Costa,1985): "the
process of reasonably deciding what to believe"; atau juga dapat
didefinisikan sebagai :"... a search
for meaning, not the acquisition of knowledge" (Arendt,1977). Ennis
(dalam L.Costa,1985) dalam bentuk working definition menggambarkan bahwa :
"critical thinking is reasonable,
reflective thinking that is focused on deciding what to believe". Gega
(1977:78) Orang yang berpikir kritis adalah ".... who base sugesstion and conclusions on evidence ..." yang
ditandai dengan: menggunakan bukti untuk mengukur kebenaran kesimpulan,
menunjukkan pendapat yang kadang kontradiktif dan mau mengubah pendapat jika
ternyata ada bukti kuat yang bertentangan dengan pendapatnya. Senada dengan apa
yang dikemukakan Gega, The Statewide History-social science Assesment Advisory
commitee (USA) mendefinisikan berpikir kritis sebagai " ... those behaviors associated with deciding
what to believe and do".
Proses berpikir kritis dapat
digambarkan seperti metode ilmiah. Steven (1991) mengutarakan bahwa berpikir
kritis adalah metode tentang penyelidikan ilmiah, yaitu: mengidentifikasi
masalah, merumuskan hipotesis, mencari dan mengumpulkan data-data yang relevan,
menguji hipotesis secara logis dan evaluasi serta membuat kesimpulan yang
reliable.Krulik dan Rudnick (1993) mendefinisikan berpikir kritis adalah
berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi
masalah.Termasuk di dalam berpikir kritis adalah mengelompokan,
mengorganisasikan, mengingat dan menganalisis informasi.Berpikir kritis memuat
kemampuan membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi yang diperlukan
dengan yang tidak ada hubungan.Hal ini juga berarti dapat menggambarkan
kesimpulan dengan sempurna dari data yang diberikan, dapat menentukan
ketidakkonsistenan dan kontradiksi di dalam kelompok data.Berpikir kritis
adalah analitis dan reflektif.
Menurut Ennis (1996)
berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat
keputusan yang rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau
melakukan sesuatu. Dari definisi Ennis tersebut dapat diungkapkan beberapa hal
penting.Berpikir kritis difokuskan ke dalam pengertian sesuatu yang penuh
kesadaran dan mengarah pada sebuah tujuan.Tujuan dari berpikir kritis akhirnya
memungkinkan kita untuk membuat keputusan.
R. Matindas Juga mengungkapkan bahwa
banyak orang yang tidak terlalu membedakan antara berpikir kritis dan berpikir
logis padahal ada perbedaan besar antara keduanya yakni bahwa berpikir kritis
dilakukan untuk membuat keputusan sedangkan berpikir logis hanya dibutuhkan
untuk membuat kesimpulan.Pada dasarnya pemikiran kritis menyangkut pula pemikiran
logis yang diteruskan dengan pengambilan keputusan.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat
dikatakan bahwa berpikir kritis itu meliputi dua langkah besar yakni melakukan
proses berpikir nalar (reasoning) dan diikuti dengan pengambilan keputusan/
pemecahan masalah (deciding/problem solving). Dengan demikian dapat pula
diartikan bahwa tanpa kemampuan yang memadai dalam hal berpikir nalar
(deduktif, induktif dan reflektif), seseorang tidak dapat melakukan proses
berpikir kritis secara benar. Berpikir
kritis berfokus pada apakah meyakini atau melakukan sesuatu mengandung
pengertian bahwa siswa yang berpikir kritis tidak hanya percaya begitu saja apa
yang dijelaskan oleh guru. Siswa berusaha mempertimbangkan penalarannya dan
mencari informasi lain untuk memperoleh kebenaran.
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Berfikir Kritis
Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi berpikir kritis siswa, diantaranya:
1) Kondisi fisik: menurut Maslow dalam Siti Mariyam (2006:4) kondisi fisik
adalah kebutuhan fisiologi yang paling dasar bagi manusia untuk menjalani
kehidupan. Ketika kondisi fisik siswa terganggu, sementara ia dihadapkan pada
situasi yag menuntut pemikiran yang matang untuk memecahkan suatu masalah maka
kondisi seperti ini sangat mempengaruhi pikirannya. Ia tidak dapat
berkonsentrasi dan berpikir cepat karena tubuhnya tidak memungkinkan untuk
bereaksi terhadap respon yanga ada.
2) Motivasi: Kort (1987) mengatakan motivasi merupakan hasil faktor internal
dan eksternal. Motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan
ataupun pembangkit tenaga seseorang agar mau berbuat sesuatu atau
memperlihatkan perilaku tertentu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Menciptakan minat adalah cara yang sangat baik untuk
memberi motivasi pada diri demi mencapai tujuan. Motivasi yang tinggi terlihat
dari kemampuan atau kapasitas atau daya serap dalam belajar, mengambil resiko,
menjawab pertanyaan, menentang kondisi yang tidak mau berubah kearah yang lebih
baik, mempergunakan kesalahan sebagai kesimpulan belajar, semakin cepat
memperoleh tujuan dan kepuasan, mempeerlihatkan tekad diri, sikap kontruktif,
memperlihatkan hasrat dan keingintahuan, serta kesediaan untuk menyetujui hasil
perilaku.
3) Kecemasan:
keadaan emosional yang ditandai dengan kegelisahan dan ketakutan terhadap
kemungkinan bahaya. Menurut Frued dalam Riasmini (2000) kecemasan timbul secara
otomatis jika individu menerima stimulus berlebih yang melampaui untuk
menanganinya (internal, eksternal). Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat;
a) konstruktif, memotivasi individu untuk belajar dan mengadakan perubahan
terutama perubahan perasaan tidak nyaman, serta terfokus pada kelangsungan
hidup; b) destruktif, menimbulkan tingkah laku maladaptif dan disfungsi yang
menyangkut kecemasan berat atau panik serta dapat membatasi seseorang dalam
berpikir.
4) Perkembangan
intelektual: intelektual atau kecerdasan merupakan kemampuan mental seseorang
untuk merespon dan menyelesaikan suatu persoalan, menghubungkan satu hal dengan
yang lain dan dapat merespon dengan baik setiap stimulus. Perkembangan
intelektual tiap orang berbeda-beda disesuaikan dengan usia dan tingkah
perkembanganya. Menurut Piaget dalam Purwanto (1999) semakin bertambah umur
anak, semakin tampak jelas kecenderungan dalam kematangan proses.
Rath et al
(1966) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan
kemampuan berpikir kritis adalah interaksi antara pengajar dan siswa.Siswa
memerlukan suasana akademik yang memberikan kebebasan dan rasa aman bagi siswa
untuk mengekspresikan pendapat dan keputusannya selama berpartisipasi dalam
kegiatan pembelajaran.
2.3 Bagaimana Mengembangkan Berpikir Kritis
Pengembangan
kemampuan berpikir kristis dan kreatif serta memecahkan masalah yang berkaitan
dengan kehidupan siswa adalah penting. Kesadaran ini perlu dijadikan pijakan
dalam pengembangan kurikulum dengan mengedepankan pembelajaran
konstekstual.Untuk itu para guru perlu berbuat, merancang secara serius
pembelajaran yang didasarkan pada premis proses belajar. Kemampuan berpikir
kristis dan kreatif dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran. Kemampuan
itu da mencakup beberapa hal, diantaranya, (1) membuat keputusan dan
menyelesaikan masalah dengan bijak, (2) mengaplikasikan pengetahuan, pengalaman
dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di dalam atau di luar sekolah,
(3) menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif dan inovatif, (4) mengatasi
cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit, (5) meningkatkan aspek
kognitif dan afektif, dan (6) bersikap terbuka dalam menerima dan memberi
pendapat, membuat pertimbangan berdasarkan alasan dan bukti, serta berani
memberi pandangan dan kritik
a)
Evaluasi kemampuan berpikir
kritis
Evaluasi merupakan proses
pengukuran pencapaian tujuan yang diinginkan dengan menggunakan metode yang
teruji validitas dan reliabilitasnya. Beberapa penelitian mengevaluasi
kemampuan berpikir kritis dari aspek keterampilan intelektual seperti
keterampilan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi dengan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan yang berbasis taxonomi Bloom. Sedangkan tujuan pengajaran
berpikir kritis meliputi ketrampilan dan strategi kognitif, serta sikap.
Colucciello menggabungkan berbagai elemen yang digunakan dalam penelitian
dan komponen pemecahan masalah serta kriteria yang digunakan dengan komponen
ketrampilan dan sikap berpikir kritis. Elemen tersebut antara lain menentukan
tujuan, menyusun pertanyaan atau membuat kerangka masalah, menunjukkan bukti,
menganalisis konsep, interpretasi, asumsi, perspektif yang digunakan,
keterlibatan, dan kesesuaian. Dengan kriteria antara lain: kejelasan,
ketepatan, ketelitian, keterkaitan, keluasan, kedalaman, dan logika. Dia juga
membandingkan dengan inventory yang sudah ada seperti California Critical Thinking Test (CCTT) untuk mengevaluasi
ketrampilan berpikir kritis dan Critical
Thinking Disposition Inventory (CTDI) untuk mengevaluasi sikap berpikir
kritis.
2.4 Strategi dalam pembelajaran
Kember (1997) menyatakan bahwa
kurangnya pemahaman pengajar tentang berpikir kritis menyebabkan adanya
kecenderungan untuk tidak mengajarkan atau melakukan penilaian keterampilan
berpikir pada siswa. Seringkali pengajaran berpikir kritis diartikan sebagai problem
solving, meskipun kemampuan memecahkan masalah merupakan sebagian dari
kemampuan berpikir kritis (Pithers RT, Soden R., 2000).
Faktor yang menentukan
keberhasilan program pengajaran keterampilan berpikir adalah pelatihan untuk
para pengajar. Pelatihan saja tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan
keterampilan berpikir jika penerapannya tidak sesuai dengan harapan yang
diinginkan, tidak disertai dukungan administrasi yang memadai, serta program
yang dijalankan tidak sesuai dengan populasi siswa (Cotton K., 1991).
Secara umum pembelajaran IPS
harus mengikuti aturan yang ada dalam Standar Isi, salah satunya berpikir
kritis. Namun, dalam materi sejarah strategi pembelajaran berpikir kritis ini
dapat dilakukan melalui sajian sejumlah fakta yang didapat dari bacaan atau
sumber lainnya. Anak didik dilatih menginterpretasikan untuk membangun suatu
struktur proses perubahaan peristiwa. Dalam hal ini secara langsung telah
dilatih anak didik memahami bahwa suatu peristiwa memiliki proses perubahan.
Ini salah satu ciri khas yang tidak diperoleh anak didik melalui pembelajaran
lainnya.
Setelah terbentuk pola perubahan,
anak dilatih berpikir kritis pada setiap perubahan. Latihan pertama, adalah
anak disuruh mencari fakta, membuat konsep dan menemukan sebab-akibat dari
setiap proses perubahan dalam peristiwa sejarah. Latihan pertama, anak didik
ditantang untuk membuktikan terjadi perubahan melalui fakta (kejadian)
masing-masing proses perubahan (how), kapan terjadinya perubahan (when), dimana
terjadinya (where) dan siapa pelakunya (Who). Latihan kedua, peserta didik
dilatih menginterpretasi untuk menentukan konsep setiap fakta (kejadian) dengan
memunculkan pertanyaan ‘apa namanya itu’ (What)? Terakhir, peserta didik
dilatih mencari penyebab dari masing-masing perubahan, dengan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan, mengapa terjadi perubahan (Why)? Demikian selanjutnya
untuk perkembangan setiap perubahan dalam peristiwa sejarah latihan berulang
ini akan membentuk keterampilan berpikir kritis seperti yang dimuat dalam
kurikulum 2006. Salah satu contohnya yaitu, Kerajaan Samudera Pasai mencapai
puncak kejayaannya pada tahun 1297 – 1326 M? apa penyebabnya? Siapa rajanya?
bagaimana pemerintahannya? mengapa ia mencapai puncak kejayaan? kapan
terjadinya?
Strategi tersebut membuktikan dua
hal dalam pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, yaitu:
- Dengan menggunakan konteks yang relevan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis sekaligus meningkatkan prestasi akademisnya.
- Cara penilaian yang memerlukan telaah yang lebih dalam, mendorong siswa untuk belajar secara lebih bermakna daripada sekedar belajar untuk menghapal.
Pertanyaan diberikan setelah
memperoleh fakta-fakta dari setiap peristiwa sejarah yang akan dipelajari. Hal
ini menunjukkan bahwa informasi yang diberikan telah disusun oleh pendidik
dengan konsep yang jelas sehingga tidak memberikan pengalaman bagi siswa untuk
menentukan informasi yang diperlukan untuk membangun konsep sendiri. Salah satu
karakter seorang yang berpikir kritis adalah self regulatory, sehingga pengajaran tersebut dapat dikombinasikan
dengan strategi lain agar siswa dapat menentukan informasi secara mandiri.
Sehingga setiap siswa memperoleh kesempatan untuk menyampaikan argumentasi dari
jawaban pertanyaan yang diberikan. Penulis beranggapan bahwa
pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk berpikir kritis dapat
dimasukkan ke dalam study guide sebagai salah satu sumber belajar.
Pembelajaran kolaboratif melalui
diskusi kelompok kecil juga direkomendasikan sebagai strategi yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis (Resnick L., 1990; Rimiene V., 2002; Gokhale A.A.,
2005). Dengan berdiskusi siswa mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi
pemahamannya dan mengevaluasi pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi
berpikir dari orang lain untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang
kurang untuk membangun pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap
yang diperlukan seperti menerima kritik dan menyampaikan kritik dengan cara
yang santun.
BAB III. PENUTUP
3.l Kesimpulan
Strategi pengajaran yang
mendorong siswa berpikir kritis terhadap pokok bahasan materi pelajaran sejarah
dapat menggunakan berbagai strategi pengajaran yang menggunakan pendekatan di
bawah ini:
- Pembelajaran Aktif
- Pembelajaran Kolaboratif
- Pembelajaran Kontekstual
- Menggunakan pendekatan higher order thinking
- Self directed learning
Kombinasi dari berbagai strategi
di lebih dianjurkan oleh karena dapat mencapai berbagai aspek dari komponen
berpikir kritis. Teknologi pengajaran yang menerapkan kombinasi dari berbagai
strategi yang ada saat ini misalnya Problem Based Learning (PBL). Para pendidik
perlu mengembangkan strategi pengajaran tersebut dalam pengajaran agar siswa
dapat belajar materi pembelajaran sejarah melalui proses berpikir kritis. Dengan
demikian siswa dapat memberi makna yang lebih dalam (bukan sekedar mendapat
materi yang dalam) dari materi yang dipelajari.
Berpikir kritis dalam proses
pembelajaran sejarah ini dapat terlaksana jika seluruh fakta-fakta mengenai
peristiwa sejarah tersebut dapat ditemukan, dengan cara guru dan siswa memiliki
sumber dan bahan materi yang lengkap
DAFTAR PUSTAKA
Mestika Zed.
2003. Metodologi Sejarah. Padang: Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UNP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar