Rabu, 17 Desember 2014

Kreativitas dalam Pembelajaran Sejarah



Description: logo1.jpeg
Kreativitas dalam Pembelajaran Sejarah






Oleh:
1.      Wahyu Bagustiadi            (120210302014)







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya dan karunianya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.Dengan terselesainya makalah ini, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan atas terselesainya makalah ini.
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai bahan diskusi mata kuliah “Strategi Belajar Mengajar” dan sebagai media untuk lebih mendalami setiap unit yang akan dipelajari dan dibahas dalam mata kuliah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih belum sempurna. oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk memperbaiki makalah yang telah dibuat. Akhirnya semoga makalah ini dapat berguna bagi kita, amien.





                                                                                   
 Jember, 1 Oktober  2014


                                                                                                                                                                                                                        Penyusun


DAFTAR ISI





BAB I. PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang


Pembelajaran sejarah di sekolah merupakan salah satu pembelajaran yang harus dipelajari oleh siswa. Isjoni ( 2007 : 37 ) mengatakan Sejarah adalah ilmu yang menggambarkan perkembangan masyarakat, suatu proses yang panjang ”. Sejarah merupakan kisah manusia dengan perjuangan yang dikenal dengan kebudayaan.Memahami asal usul kebudayaannya, berarti memahami kenyataan dirinya dan kekiniannya. Memahami hakekat kekiniannya berarti mampu mengambil pelajaran untuk menghadapi masa depan. Mempelajari sejarah berarti mempelajari hubungan antara masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
Suryo ( Isjoni : 38 ) mengatakan sejarah berdasarkan kegunaannya terdiri dari sejarah empiris dan sejarah normatif. Sejarah empirik menyajikan substansi kesejarahan bersifat empirik dan akademik untuk tujuan ilmiah, sejarah normatif menyajikan substansi kesejarahan berdasarkan ukuran nilai dan makna sesuai dengan tujuan penggunaan yang bersifat normatif.

Pembelajaran sejarah sebagai sejarah normatif, substansi dan tujuannya ditujukan pada segi – segi normatif, yaitu nilai dan makna sesuai tujuan pendidikan. Kegunaan pembelajaran sejarah bagi siswa menurut Hill ( Isjoni : 39 – 40 ) adalah :
a.    Secara unik memuaskan rasa ingin tahu dari anak tentang orang lain, kehidupan, tokoh – tokoh, perbuatan dan cita – citanya, yang dapat menimbulkan gairah dan kekaguman.
b.    Lewat pembelajaran sejarah dapat diwariskan kebudayaan dari umat manusia, penghargaan terhadap sastra, seni serta cara hidup orang lain.
c.    Melatih tertib intelektual, yaitu ketelitian dalam memahami dan ekspresi, menimbang bukti, memisahkan yang penting dari yang tidak penting, antara propaganda dan kebenaran.
d.   Melalui pelajaran sejarah dapat dibandingkan kehidupan zaman sekarang dengan masa lampau.
e.    Pelajaran sejarah memberikan latihan dalam pemecahan masalah – masalah atau pertentangan dunia masa kini.
f.     Mengajar siswa unuk berpikir sejarah dengan menggunakan metode sejarah, memahami struktur dalam sejarah, dan menggunakan masa lampau untuk mempelajari masa sekarang dan masa yang akan datang.
g.    Mengajar siswa untuk berpikir kreatif.
h.    Untuk menjelaskan masa sekarang ( belajar bagaimana masa sekarang, menggunakan pengetahuan masa lampau untuk memahami masa sekarang untuk membantu menyelesaikan masalah – masalah kontemporer).
i.       Untuk menjelaskan sejarah bahwa status apapun hari ini adalah hasil dari apa yang terjadi di masa lalu, dan pada waktunya apa yang terjadi hari ini akan mempengaruhi masa depan.
j.      Menikmati sejarah
k.    Membantu siswa akrab dengan unsur – unsur dalam sejarah.

Meulen ( Isjoni : 40 ) mengatakan pembelajaran sejarah disekolah bertujuan membangun kepribadian dan sikap mental anak didik, membangkitkan keinsyafan akan suatu dimensi fundamental dalam eksistensi umat manusia ( kontinuitas gerakan dan peralihan terus menerus dari lalu ke arah masa depan), mengantarkan manusia ke kejujuran dan kebijaksanaan pada anak didik, dan menanamkan cinta bangsa dan sikap kemanusian.

Pentingnya pembelajaran sejarah di sekolah – sekolah diakui semua bangsa dan negara, karena pembelajaran sejarah merupakan sarana untuk mensosialisasikan nilai – nilai tradisi bangsa yang sudah teruji dengan waktu, memahami perjuangan dan pertumbuhan bangsa dan negara, baik secara fisik, politik, dan ekonomi sekaligus mendidik sebagai warga dunia yang sangat peduli kepada pentingnya pemahaman terhadap bangsa – bangsa lain ( Isjoni, 2007 : 47 ). Oleh karena itu, tidak ada satu bangsapun di dunia ini yang di dalam kurikulum sekolahnya tidak membahas materi sejarah. Apakah materi itu bull in dalam pelajaran pendidikan IPS ( social studies ) ataupun sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri.




1.2 Rumusan Masalah


1.Bagaimanakah konsep dasar kreativitas?
2.Bagaimanakah Kreativitas pembelajaran sejarah?
3.BagaimanakahMakna pembelajaran sejarah?
4. Bagaimanakahmembangun nilai kepahlawanan?

1.3 Tujuan


Ø Untuk mengetahui konsep dasar kreativitas.
Ø Untuk mengetahui kreativitas pembelajaran sejarah.
Ø .Untuk mengetahui makna pembelajaran sejarah.
Ø Untuk mengetahui bagaimana membangun nilai kepahlawanan

1.4 Manfaat

Ø Dapat mengetahui konsep dasar kreativitas.
Ø Dapat mengetahui kreativitas pembelajaran sejarah.
Ø Dapat mengetahui makna pembelajaran sejarah.
Ø Dapat mengetahui bagaimana membangun nilai kepahlawanan



BAB II. PEMBAHASAN


2.1 Konsep Dasar Kreativitas

            Walaupun ada pengakuan ilmiah terhadap pentingnya kreativitas, namun hingga kini hanya sedikit sekali penelitian yang telah dilakukan.Hal itu disebabkan adanya kesulitan metodologi dan karena adanya keyakinan bahwa kreativitas adalah suatu faktor bawaan individual sehingga hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mengendalikannya.
Beberapa pengertian kreativitas menurut para ahli, diantaranya ;
a. Utami Munandar (1995 : 25) kreativitas adalah suatu kemampuan umum untuk menciptakan suatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.
b. Imam Musbikin (2006 : 6) kreativitas adalah kemampuan memulai ide, melihat hubungan yang baru, atau tak diduga sebelumnya, kemampuan memformulasikan konsep yang tak sekedar menghafal, menciptakan jawaban baru untuk soal-soal yang ada, dan mendapatkan pertanyaan baru yang perlu di jawab.
c. Mangunhardjana (1986 : 11) adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya berguna (useful), lebih enak, lebih praktis, mempermudah, memperlancar, mendorong, mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah, mengurangi hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil lebih baik atau banyak.
d. Sternberg (1988), kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis, yaitu intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi.
e. Baron (1969) yang menyatakan kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang baru.
f. Supriyadi dalam Yeni Rachmawati dan Euis Kurniati (2005 : 15) mengutarakan bahwa kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada. Selanjutnya ia menambahkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam kemampuan berpikir, ditandai oleh suksesi, diskontinuitas, diverensiasi, dan integrasi antara setiap tahap perkembangan.
g. Clark Moustakis (1967), ahli psikologi humanistic menyatakan bahwa kreativitas adalah pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam, dan dengan orang lain.
h. Rhodes, umumnya kreativitas didefinisikan sebagai Person, Process, Press, Product. Keempat P ini saling berkaitan, yaitu Pribadi (Person) kreatif yang melibatkan diri dalam proses (Process) kreatif, dan dengan dorongan dan dukungan (Press) dari lingkungan, menghasilkan produk (Product) kreatif.
i. Hulbeck (1945), “ Creative action is an imposing of one’s own whole personality on the environment in an unique and characteristic way”. Dimana tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.
j. Haefele (1962), kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna social.
k. Torrance (1988), kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan menguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubah dan mengujinya lagi, dan akhirnya menyampaikan hasil-hasilnya.
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjelaskan makna dari kreativitas penulis mengambil kesimpulan bahwa kreativitas adalah kemampuan menciptakan sesuatu yang baru, proses konstuksi ide yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan masalah, serta suatu kegiatan yang bermanfaat.
Adapun Definisi kreativitas tergantung pada segi penekanannya, kreativitas dapat didefinisikan kedalam empat jenis dimensi sebagai Four P’s Creativity, yaitu dimensi Person,Proses, Press dan Product sebagai berikut :
1.      Definisi kreativitas dalam dimensi Person. Definisi pada dimensi person adalah upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada individu atau person dari individu yang dapat disebut kreatif. “Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people” (Guilford, 1950 dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001). “Creative action is an imposing of one’s own whole personality on the environment in an unique and characteristic way (Hulbeck, 1945 dikutip Utami Munandar, 1999). Guilford menerangkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan atau kecakapan yang ada dalam diri seseorang, hal ini erat kaitannya dengan bakat. Sedangkan Hulbeck menerangkan bahwa tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Definisi kreativitas dari dua pakar diatas lebih berfokus pada segi pribadi.
2. Kreativitas dalam dimensi Process. Definisi pada dimensi proses upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada proses berpikir sehingga memunculkan ide-ide unik atau kreatif. “Creativity is a process that manifest in self in fluency, in flexibility as well in originality of thinking” (Munandar, 1977 dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001). Utami Munandar menerangkan bahwa kreativitas adalah sebuah proses atau kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibititas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci), suatu gagasan. Pada definisi ini lebih menekankan pada aspek proses perubahan (inovasi dan variasi). Dari pendapat diatas kreativitas sebagai sebuah proses yang terjadi didalam otak manusia dalam menemukan dan mengembangkan sebuah gagasan baru yang lebih inovatif dan variatif (divergensi berpikir).
3. Definisi Kreativitas dalam dimensi Press. Definisi dan pendekatan kreativitas yang menekankan faktor press atau dorongan, baik dorongan internal diri sendiri berupa keinginan dan hasrat untuk mencipta atau bersibuk diri secara kreatif, maupun dorongan eksternal dari lingkungan sosial dan psikologis. Definisi Simpson (1982) dalam S. C. U. Munandar 1999, merujuk pada aspek dorongan internal dengan rumusannya sebagai berikut : “The initiative that one manifests by his power to break away from the usual sequence of thought” Mengenai “press” dari lingkungan, ada lingkungan yang menghargai imajinasi dan fantasi, dan menekankan kreativitas serta inovasi. Kreativitas juga kurang berkembang dalam kebudayaan yang terlalu menekankan tradisi, dan kurang terbukanya terhadap perubahan atau perkembangan baru.
4. Definisi Kreativitas dalam dimensi Product. Definisi pada dimensi produk merupakan upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada produk atau apa yang dihasilkan oleh individu baik sesuatu yang baru/original atau sebuah elaborasi/penggabungan yang inovatif. “Creativity is the ability to bring something new into existence” (Baron, 1976 dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001). Definisi yang berfokus pada produk kreatif menekankan pada orisinalitas, seperti yang dikemukakan oleh Baron (1969) yang menyatakan bahwa kreatifitas adalah kemampuan untuk menghasilkan/menciptakan sesuatu yang baru. Begitu pula menurut Haefele (1962) dalam Munandar, 1999; yang menyatakan kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial. Dari dua definisi ini maka kreatifitas tidak hanya membuat sesuatu yang baru tetapi mungkin saja kombinasi dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya.
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjelaskan makna dari kreativitas yang dikaji dari empat dimensi yang memberikan definisi saling melengkapi. Untuk itu kita dapat membuat berbagai kesimpulan mengenai definisi tentang kreativitas dengan acuan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli.Dari beberapa uraian mengenai definisi kreativitas yang dikemukakan diatas peneliti menyimpulkan bahwa : “Kreativitas adalah proses konstruksi ide yang orisinil (asli), bermanfaat, variatif (bernilai seni) dan inovatif (berbeda/lebih baik)”.
Strategi 4P yaitu Pribadi, Pendorong, Proses, dan Produk yang menurut para ahli dapat membantu mengembangkan kreatifitas anak jika diterapkan secara benar.Pada dasarnya setiap anak memiliki kreativitas, hanya saja tidak semua anak bisa mengembangkan kreatifitasnya dengan benar.Untuk itu diperlukan peran orang tua dalam mengembangkan kreatifitas tersebut.Melalui strategi 4P ini diharapkan dapat membantu orang tua dalam mengembangkan kreativitas anaknya.
a)      Pribadi
Hal pertama yang harus orang tua ketahui dalam upaya mengembangkan kreatifitas anak adalah dengan memahami pribadi mereka, diantaranya dengan :
  • Memahami bahwa setiap anak memiliki pribadi berbeda, baik dari bakat, minat, maupun keinginan.
  • Menghargai keunikan kreativitas yang dimiliki anak, dan bukan mengharapkan hal-hal yang sama antara satu anak dengan anak lainnya, karena setiap anak adalah pribadi yang “unik”, dan kreatifitas juga merupakan sesuatu yang unik.
  • Jangan membanding-bandingkan anak karena tiap anak memiliki minat, bakat, kelebihan serta ketebatasannya masing-masing. Pahamilah kekurangan anak dan kembangkanlah bakat dan kelebihan yang dimilikinya.
b)      Pendorong
Dorongan dan motivasi bagi anda sangat berguna bagi anak dalam mengembangkan motivasi instrinsik mereka, dengan begitu mereka akan sendirinya berkreasi tanpa merasa dipaksa dan dituntut ini itu, kita dapat melakukan :
  • Berilah fasilitas dan sarana bagi mereka untuk berkreasi, misalnya melalui mainan-mainan yang bisa merangsang daya kreativitas anak misalnya balok-balok susun, lego, mainan alat dapur dan sebagainya. Hindari memberikan mainan yang tinggal pencet tombol atau mainan langsung jadi.
  • Ciptakan lingkungan keluarga yang mendukung kreatifitas anak dengan memberikan susana aman dan nyaman.
  • Hindari membatasai ruang gerak anak didalam rumah karena takut ada barang-barang yang pecah atau rusak, karena cara ini justru bisa memasung kreativitas mereka, alangkah lebih baik jika anda mau mengalah dengan menyimpan dahulu barang-barang yang mudah pecah ketempat yang aman, atau anda bisa meyediakan tempat khusus bermain anak, dimana anak bebas berkreasi.
  • Disiplin tetap diperlukan agar ide-ide kreatif mereka bisa terwujud.
c)      Proses
Proses berkreasi merupakan bagian paling penting dalam pengembangan kreativitas dimana anak anda akan merasa mampu dan senang bersibuk diri secara kreatif dengan aktifitas yang dilakukannya, baik melukis, menyusun balok, merangkai bunga dan sebagainya, beberapa hal yang dapat dilakukan:
  • Hargailah kreasinya tanpa perlu berlebihan, karena secara intuisif anak akan tahu mana pujian yang tulus dan yang mana yang hanya akan basa-basi.
  • Hindari memberi komentar negatif saat anak berkreasi, apalagi disertai dengan perintah ini itu terhadap karya yang sedang dibuatnya, karena hal ini justru dapat menyurutkan semangatnya berkreasi.
  • Peliharalah harga diri anak dengan mengungkapkan terlebih dahulu komentar anda secara positif, misalnya “bunda senang adek bisa membuat menara seperti itu, lain kali adek buat yang lebih tinggi dan tidak mudah ambruk ya.” Dengan demikian anak akan merasa dirinya mampu dan dihargai lingkungannya
d)     Produk
Pada tahap ini anak sudah bisa menghasilkan produk kreatif mereka, yang bisa dilakukan:
  • Hargailah hasil kreatifitas mereka meski hasilnya agak kurang memuaskan.
  • Pajanglah karya anak anda di kamar mereka atau tempat-tempat lain yang memungkinkan. Dengan demikian, anak akan merasa bangga karena karyanya dihargai.


2.2 Kreativitas Pemebelajaran Sejarah


Membaca judul di atas, barangkali ada yang ganjil terbersit dalam pikiran. Bukankah selama ini saat belajar sejarah, kita hanya menemukan sesuatu yang monoton bahkan cenderung membosankan. Hafalin nama tokoh, nama tempat dan yang paling menyedihkan harus mengingat angka-angka tanggal yang tak ada rumus pembagi atau pengurangnya, pokoknya hafal mati, titik! Hal ini jelas sangat jauh dari kata kreatif yang tertera di judul tersebut. Berpikir berbeda dari apa yang selama ini dimengerti memang tidak mudah, namun tidak ada salahnya jika mencoba menelusuri guna mencari tahu; apa dan bagaimana sebenarnya sejarah atau pelajaran sejarah itu semestinya dipelajari.
a.       Hasil Rekonstruksi masa lalu
        Objek kajian sejarah adalah masa lalu, utamanya berkenaan dengan apa yang dilakukan, dipikirkan dan dihasilkan oleh manusia. Mengapa harus dipelajari? Ini berkaitan dengan kepentingan masa kini, setidaknya agar manusia mengerti dan memahami keberadaan dirinya. Karena apa yang terjadi di masa kini sangat berkaitan dengan apa yang telah dilakukan oleh manusia di masa lalunya. Dan bagi masa depan setidaknya hal tersebut dapat dijadikan acuan atau pembelajaran. Sehingga kualitas hidup manusia dari waktu ke waktu menjadi lebih baik. Berdasarkan hal tersebut maka poin utama dalam mempelajari sejarah adalah belajar tentang nilai-nilai kehidupan dan kehidupan manusia di masa lalu sebagai sumber belajarnya.
Rentang waktu masa lalu sebagai objek kajian sejarah tidak terbatas. Sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun, seabad, seribu atau bahkan sejuta tahun yang lalu, semuanya adalah masa lalu. Sementara kita, sebagai orang yang mempelajari peristiwa di masa lalu tersebut hidup di masa sekarang. Jika masa lalu yang akan dipelajari itu belum lama, maka sumber yang dapat dipakai tentunya masih banyak. Namun jika yang dikaji ribuan tahun yang lalu, tentu sumbernya sangat terbatas. Bahkan seringkali hanya berupa benda, atau bekas-bekas aktivitas manusia yang berserakan. Tak ada cerita apapun yang tersampaikan dari sisa-sisa tersebut. Beruntung para sejarawan sudah melakukan rekonstruksinya untuk kita, namun bukan berarti kita pun tak memiliki kebebasan untuk ikut juga menganalisis apa yang telah terjadi dari sudut pandang yang dapat kita pahami.
b.      Rekonstruksi dan Berpikir kreatif
Seperti apapun sisa yang didapat dari kehidupan masa lalu manusia itu, sejarawan dituntut dapat mengungkapkan apa yang terjadi. Mulai dari peristiwa, pelaku, motif, cara hidup atau apa saja dibalik sisa-sisa yang tertinggal tersebut. Berperan seperti detektif, sejarawan melakukan rekonstruksi, yaitu membangun kembali suasana kehidupan masa lalu dengan berdasarkan sumber yang tersedia. Mereka mencoba menginterpretasi setiap sumber yang ada.
Pada konteks inilah imajinasi diperlukan. Imajinasi sejarawan yang didasarkan data dan tentu saja dukungan ilmu-ilmu yang lain digunakan untuk menghadirkan masa lalu yang kemudian dibuatkan deskripsinya, dan pada akhirnya pembaca atau manusia masa kini dapat mengerti seperti apa masa lalu di balik sisa-sisa peninggalan tersebut. Realitas demikian tentu membutuhkan kreatifitas dalam berpikir, dan kreatifitas seperti itu bukan merupakan monopoli sejarawan saja, melainkan bagi kita yang mempelajari sejarah. Memadukan antara penggalan fakta yang satu dengan fakta lainnya membutuhkan daya analisa yang membuat kita dicerdaskan. Belum lagi jika kita juga turut mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi namun belum diungkap oleh sejarawan penulisnya, pasti lebih mengasyikkan dan hal seperti ini sangat dianjurkan dalam mempelajari sejarah. Sebab kebenaran sejarah itu tidak tunggal.
Misalnya saja saat kita mempelajari sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Mataram Jaman Hindu-Budha). Peninggalan yang dapat dijadikan sumber bagi pembahasan adalah candi Prambanan atau Borobudur. Dengan menggunakan imajinasi kita bisa melakukan eksplorasi lebih lanjut, tidak sekedar mengetahui bahwa kedua candi tersebut merupakan peninggalan kerajaan Mataram. Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis, kita bisa mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat  pada saat tersebut. Seperti; bagaimana candi itu di bangun, ukuran seperti apa yang di gunakan, siapa yang merancang, siapa yang jadi pekerja, bagaimana suplai logistic bagi para pekerjanya, dimana mereka tinggal, bagaimana manajemen operasionalnya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa di ajukan. Dengan imajinasi dan data yang tersedia kita dapat menjawab berbagai hal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentu jawaban-jawaban yang ada adalah jawaban spekulatif, dan perlu pembuktian melalui berbagai argument pembanding, dan tidak kalah pentingnya adalah hal-hal yang bersifat akademis. Salah atau benar jawaban yang bisa dimunculkan bukanlah hal terpenting, namun kemampuan membingkai serpihan menjadi sebuah deskripsi yang bermakna menjadi lebih penting, dan tentunya kreatifitas berpikir menjadi terasah.

       ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan mampu menghargai sejarah perjuangan para pendahulunya”. Dalam konteks ini, sudahkan kita sebagai bangsa yang besar? Benarkah kita sebagai bangsa sudah sangat perhatian dan menghargai para pahlawan pejuang bangsa yang telah  mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan tanah air, masyarakat dan Negara Indonesia?  Dengan pertanyaan-pertanyaan ini kitapun menjadi ragu dan termangu, apakah kita sudah termasuk bangsa yang menghargai sejarah perjuangan para pahlawan kita sendiri, mengingat di antara kita banyak yang tidak memahami sejarah perjuangan bangsa.  Indikator yang terlihat salah satunya banyak anggota masyarakat dan para remaja kita yang tidak senang, tidak berminat dengan pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah di sekolah menjadi mata pelajaran yang tidak menarik dan membosankan. Pelajaran sejarah dipandang  menjadi pelajaran  yang tidak penting, apalagi tidak di UN-kan. Posisi mata pelajaran di sekolah dipandang sebagai mata pelajaran tambahan yang dapat dibelajarkan oleh siapa saja. Mengapa demikian? Slaha satu sebabnya bisa ditebak karena pembelajaran sejarah kita cenderung hafalan dan kurang bermakna dalam kehidupan keseharian, yang berada di tengah-tengah dinamika kehidupan  masyarakat yang cenderung konsumtif-materialistik. Hal ihwal termasuk mata ajar yang tidak terkait langsung dengan soal materi dan ekonomi, tidak begitu diminati.
       Pembelajaran sejarah sebenarnya tidak sekedar menjawab pertanyaan what to teach, tetapi bagaimana proses pembelajaran itu dilangsungkan agar dapat menangkap dan menanamkan nilai serta mentransformasikan pesan di balik realitas sejarah itu kepada peserta didik. Proses pembelajaran ini tidak sekedar peserta didik menguasai materi ajar, tetapi diharapkan dapat membantu pematangan kepribadian peserta didik sehingga mampu merespon dan beradaptasi dengan perkembangan sosio kebangsaan yang semakin kompleks serta tuntutan global yang semakin kencang.
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini ternyata belum seperti yang dicita-citakan. Peristiwa politik tahun 1998 yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru dengan berbagai euforianya ternyata menyisakan luka mendalam di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berbagai bentuk pelanggaran masih terus terjadi. Tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, perilaku amoral dan runtuhnya budi pekerti luhur, anarkhisme dan ketidaksabaran, ketidakjujuran dan budaya nerabas, rentannya kemandirian dan jati diri bangsa, terus menghiasai kehidupan bangsa kita. Semangat kebangsaan, jiwa kepahlawanan, rela berkorban, saling bergotong royong  di kalangan masyarakat kita mulai menurun. Kita seperti telah kehilangan karakter yang selama beratus-ratus tahun bahkan berabad-abad kita bangun. Pada kondisi yang seperti ini nampaknya pada moment peringatah “Hari Pahlawan” kali ini menjadi menarik untuk mencoba kembali menelaah kaitan antara pembelajaran sejarah dengan nilai-nilai kepahlawanan.

2.3 Makna Pembelajaran Sejarah


            Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pembelajaran sejarah sebenarnya memiliki makna yang strategis.Pembelajaran sejarah adalah suatu proses untuk membantu  mengembangkan potensi dan kepribadian  peserta didik melalui pesan-pesan sejarah  agar menjadi warga bangsa yang arif dan bermartabat. Sejarah dalam hal ini merupakan totalitas dari aktivitas manusia di masa lampau (Walsh, 1967), dan sifatnya dinamis. Maksudnya, bahwa masa lampau itu bukan sesuatu final,   tetapi bersifat terbuka dan terus berkesinambungan dengan masa kini dan yang akan datang. Karena itu sejarah dapat diartikan sebagai  ilmu yang meneliti dan mengkaji secara sistematis dari keseluruhan perkembangan masyarakat dan kemanusiaan di masa lampau dengan segala aspek kejadiannya, untuk  kemudian dapat memberikan penilaian sebagai pedoman penentuan keadaan sekarang, serta cermin untuk masa yang akan datang.
       Lebih jauh pengertian sejarah juga berkait dengan persoalan kemanusiaan dan sebuah teater di mana manusia menjadi pemain watak, berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keteladanan yang sudah ada. Sejarah  akan mendidik manusia untuk memahami “sangkan paran “ dan keberadaan dirinya (Soedjatmoko, 1986) sehingga dapat memperkuat identitas diri dan identitas nasional, atau identitas sebagai suatu bangsa. Dalam kaitan ini maka pembelajaran sejarah  berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah suatu orientasi intelektual, dan suatu sikap jiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai suatu bangsa (Soedjatmoko, 1986). Taufik Abdullah (1974) menegaskan bahwa kesadaran sejarah tidak lain adalah kesadaran diri. Kesadaran diri dapat dimaknai sadar akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai makhluk sosial termasuk sadar sebagai bangsa dan sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sardiman A.M., 2005). Dalam konteks ini pada diri manusia sebenarnya ada dua dimensi, yakni dimensi kekhalifahan dan dimensi kehambaan.
       Dengan pemahaman tersebut,  pembelajaran sejarah dituntut paling tidak dapat mengaktualisasikan dua hal yakni: (1) pendidikan dan pembelajaran intelektual, (2) pendidikan dan pembelajaran moral bangsa, civil society  yang demokratis dan bertanggungjawab kepada masa depan bangsa (Djoko Suryo, 1991). Hal yang pertama menuntut pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan pengetahuan faktual, namun dituntut untuk memberikan latihan berfikir kritis, mampu menarik kesimpulan,  memahami makna dari suatu peristiwa sejarah menurut kaidah dan norma keilmuan.  Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa dan bagaimana, penting untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran sejarah.  Sementara itu hal yangkedua menunjuk pada pembelajaran sejarah yang berorientasi pada pendidikan kemanusiaan yang memperhatikan nilai-nilai luhur, norma-norma, dan aspek kemanusiaan lainnya.
       Dengan mengembangkan dua hal : pendidikan intelektual dan pendidikan moral atau  pendidikan kemanusiaan, maka arah pembelajaran sejarah diharapkan dapat mencapai tujuan yang menopang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pembelajaran sejarah akan dapat melandasi pendidikan kecerdasan intelektual, sekaligus ikut mendasari pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan emosional bahkan kecerdasan spiritual dalam rangka meningkatkan martabat manusia Indonesia. Dalam pelaksanaan di sekolah, tujuan  pembelajaran sejarah tersebut terkait dengan  adanya tujuan yang dikenal dengan istilah instructional effects dan tujuan yang “mengikutiatau tujuan lebih lanjut yang disebut nurturant effects (uraian selengkapnya lih.dalam Sardiman AM.,2005). Mencermati rumusan tersebut, nampak jelas bahwa di samping aspek kognitif, dimensi afektif menempati porsi yang cukup penting dalam tujuan pembelajaran sejarah. Namun dalam kenyataannya timbul kritik bahwa pendidikan kita cenderung intelektualistik dan lebih banyak bersifat kognitif.
        Begitu juga dalam pembelajaran sejarah masih cukup memprihatinkan. Pembelajaran sejarah lebih banyak hafalan dan bersifat kognitif.  Akibatnya pembelajaran sejarah tidak mampu menjangkau kepada aspek-aspek moralitas, menyangkut kecerdasan emosional dan spiritual. Pembelajaran sejarah kita masih jarang yang mampu memasuki wilayah ranah afektif, seperti sikap arif, menumbuhkan semangat kebangsaan, bangga terhadap bangsa dan negerinya, apalagi sampai memahami hakikat dirinya sebagai manifestasi kesadaran sejarah yang paling tinggi, sehingga memunculkan sikap dan tindakan sebagaimana dicontohkan oleh para pejuang dan pahlawan kita.

2.4 Membangun Nilai Kepahlawanan


Pembelajaran sejarah, akan mengembangkan aktivitas peserta didik untuk melakukan telaah berbagai peristiwa, untuk kemudian dipahami dan diinternalisasikan kepada dirinya sehingga melahirkan contoh  untuk bersikap dan bertindak. Dari sekian peristiwa itu antara lain pula ada pesan-pesan yang terkait dengan nilai nilai kepahlawanan seperti  keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan, nasionalisme dan patriotisme (lih. Kabul Budiyono, 2007). Beberapa nilai ini  dapat digali dan dikembangkan melalui pembelajaran sejarah yang bermakna . Untuk itu memang sangat dituntut adanya kreativitas dari para guru sejarah.Para guru sejarah harus menggali dan mampu mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
Di dalam pelajaran sejarah banyak pokok bahasan atau topik-topik yang mengandung nilai-nilai kesejarahan tersebut. Misalnya ketika sedang membahas periode  penjajahan, sangat tepat untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai jati diri dan hak-hak individu atau hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Bagaimana perlawanan yang dilancarkan oleh Sultan Agung, oleh Pangeran Diponegara, oleh Cut Nyak Dhien. Tokoh-tokoh ini berjuang tanpa pamrih demi kebebasan tanah tumpah darahnya, demi membela rakyat yang menderita akibat kekejaman kaum penjajah. Harta, jiwa dan raga dipertaruhkan demi tegaknya harga diri dan kedaulatan sebagai bangsa Berbagai bentuk perjuangan ini  secara dikotomis dapat  diaktualisasikan  nilai-nilai kemerdekaa.  “ Kemerekaan ialah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Satu kalimat dari Pembukaan UUD 1945 ini secara kreatif dapat dibahas satu atau dua kali pertemuan. Para peserta didik diajak untuk memahami dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan diri, nilai-nilai perikemanusiaan dan nilai keadilan untuk kemudian menjadi bagian dari sikap dan perilakunya. Dalam hal ini guru dituntut untuk mampu menjelaskan dan meyakinkan kepada peserta didik agar meresapi bahwa tindakan kaum penjajah di bumi Nusantara sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadalilan sebagai hak-hak asasi manusia.  Hak-hak individu yang paling asasi dirampas. Tidak ada kebebasan berserikat, tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat dan memeluk agama secara utuh.  Padahal Tuhan menciptakan setiap bangsa, setiap manusia anggota masyarakat dalam keadaan sama, kecuali karena kadar keimanannnya. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna dengan kedudukan mulia yakni sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi yang bertugas membangun dunia demi kemaslahatan semua orang. Jadi penjajahan sangat jelas bertentangan dengan fitrah dan ciptaan Tuhan. Membahas topik-topikpada periode penjajahan ini, peserta didik juga dapat diajak untuk menghayati dan menumbukan sikap patriotisme, sikap dan tindakan anti penjajahan. Harus diyakinkan kepada peserta didik bahwa tindak penajajahan itu adalah perilaku dholim karena menyengsarakan rakyat banyak. Dalam konteks ini dapat diaktualisasikan konsep jihad, “dan barang siapa berjihad di jalan Tuhan, surga adalah pahalanya.”
       Pembahasan topik-topik yang berkenaan dengan periode pergerakan nasional, guru perlu menekankan nilai-nilai nasionalisme, persatuan dan kesatuan di antara pluralisme atau keanekaragaman, toleransi dan saling menghargai. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan. Tuhan telah menciptakan ini semua sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa. Tuhan telah mengajarkan kepada kita bahwa diciptakan-Nya manusia bersuku-suku dan golongan-golongan agar kita saling mengenal dan menjalin tali silaturakhim. Kalau sudah demikian maka dengan didorongkan oleh keinginan luhur yakni cita-cita ingin merdeka, maka terwujudlah persatuan dan kebersamaan. Usaha untuk mewujudkan persatuan ini berhasil dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa: Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi simbol kebersamaan dalam keanekaragaman dan sekaligus memberikan semangat untuk menggalang persatuan demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Sumpah Pemuda adalah ujud nyata dari silaturakhim nasional, “dan barang siapa yang mau menghidup-hidupkan silaturakhim maka akan dipanjangkan usianya dan diluaskan rezekinya.” Inilah konsep nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai moral, nilai-nilai keagaaman yang oleh Toynbee dikatakan sebagai nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai universal agama-agama atas (higher religions) (lih. A. Syafii Maarif, 1989).  Nasionalisme yang tidak dibimbing oleh nilai-nilai moral keagamaan, dapat terjebak pada dua kecenderungan. Pertama, nasionalisme yang sekuler, ekstrim berlebihan yang dapat melahirkan chauvinisme. Bentuk nasionalisme inilah yang dikritik oleh Toynbee, karena telah menyebabkan berkobarnya  PD II yang menghancukan peradaban manusia. Kedua, nasionalisme yang lemah sehingga menjadikan pendukungnya tidak memiliki kebanggaan nasional dan jati diri bangsa. Yang kedua ini sangat erat kaitannya dengan model pembelajaran yang hanya kognitif. Guru secara kreatif dapat membahas materi ini, misalnya dengan topik “Telaah Teks Sumpah Pemuda”
       Selanjutnya untuk membahas topik-topik yang terkait dengan materi ajar pada periode kemerdekaan, guru dapat mengaktualisasikan dan menanamkan nilai-nilai esensial yang relevan kepada para peserta didik, seperti nilai-nilai kemedekaan, kemandirian dan kebebasan yang bertanggung jawab, patriotisme, masalah kepemimpinan dan keteladanan, yang telah dipertunjukkan oleh para pejuang dan pahlawan nasional kita. Agar lebih menumbuhkan kesadaran dan merangsang emosi peserta didik, guru sebagai fasilitator dan motivator dapat membelajarkan peserta didik untuk menelaah biografi tokoh pejuang atau pahlawan tertentu, misal Bung Karno, Bung Hatta, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX untuk mendapatkan nilai-nilai kejuangan, kepemimpinan dan keteladanan. 
       Pembelajaran topik-topik dan nilai-nilai pada periode kemerdekaan itu akan lebih “dahsyat” (sangat bermakna), apabila guru secara kreatif mau memberi sentuhan dan atau menggunakan perspektif spiritualisme atau nilai-nilai moral. (Uraian di atas sebenarnya sudah banyak disinggung). Contoh ilustrasi tentang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Kemerdekaan fitrah dan hak asasi manusia sebagai ciptaan Tuhan. Karena itu wajar kalau bangsa Indonesia berusaha dengan segala daya, dengan penuh pengorbanan baik jiwa, raga maupun harta. Dengan semboyan “merdeka atau mati” dan disertai dengan semangat jihad, bangsa Indonesia akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk sebuah kemerdekaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hal yang sangat asasi dan tahapan sangat penting bagi eksistensi suatu bangsa.


BAB III. PENUTUP


3.l Kesimpulan

Demikian  beberapa ilustrasi bagaimana mengembangkan materi dan melaksanakan pembelajaran sejarah untuk menghidupkan nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan. Banyak materi pembelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk membangun nilai-nilai kepahlawanan itu.  Tentu hal ini sangat menuntut keberanian dan kreativitas guru.  Guru perlu merubah pembelajaran sejarah yang kognitif menjadi pembelajaran yang lebih bermakna, kontekstual, dan menyentuh aspek-aspek afektif atau kecerdasan emosional, serta kecerdasan spiritual. Pembelajaran sejarah yang bersifat kognitif hanya akan melahirkan kepuasan dengan durasi sesaat, sebaliknya pembelajaran sejarah yang mampu melatih kecerdasan emosional dan spiritual, akan melahirkan kesadaran sejarah yang sejati, dan dapat mengaplikasikan nilai-nilai kejuangan dari para pahlawan bangsa.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Syafii Maarif,  (1989).  “Menggugat Toynbee”, dalam Eksponen, edisi 5 Maret 1989. Juga lihat Ahmad Syafii Maarif (1985), Al Qur’an : Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka.
Djoko Suryo(1996). “Pengembangan Kajian Sejarah dalam Kurikulum SLTA” Makalah, disampaikan pada acara seminar dalam rangka Dies Natalis  IKIP Semarang, 13 Maret 1991.
Kabul Budiyono, (2007). Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, Bandung : Alfabeta.
Sardiman AM. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar . Jakarta: Rajawali Pers.
Soedjatmoko (1986). Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES
Taufik Abdullah  (1974). “Masalah Sejarah Daerah dan Kesadaran Sejarah”, BulletinYapernaNo. 2 tahun I, Jakarta: hal. 10.
Walsh, W.H. (1967). Philosophy of History : An Introduction. New York: Harper and Row Publisher.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar