
Kreativitas dalam Pembelajaran Sejarah
Oleh:
1.
Wahyu Bagustiadi (120210302014)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya dan karunianya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.Dengan
terselesainya makalah ini, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan atas terselesainya makalah ini.
Makalah ini
disusun dengan tujuan sebagai bahan diskusi mata kuliah “Strategi Belajar Mengajar”
dan sebagai media untuk lebih mendalami setiap unit yang akan dipelajari dan
dibahas dalam mata kuliah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih
belum sempurna. oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
diperlukan untuk memperbaiki makalah yang telah dibuat. Akhirnya
semoga makalah ini dapat berguna bagi kita, amien.
Jember, 1 Oktober
2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pembelajaran sejarah di sekolah
merupakan salah satu pembelajaran yang harus dipelajari oleh siswa. Isjoni (
2007 : 37 ) mengatakan Sejarah adalah ilmu yang menggambarkan perkembangan
masyarakat, suatu proses yang panjang ”. Sejarah merupakan kisah manusia dengan
perjuangan yang dikenal dengan kebudayaan.Memahami asal usul kebudayaannya,
berarti memahami kenyataan dirinya dan kekiniannya. Memahami hakekat
kekiniannya berarti mampu mengambil pelajaran untuk menghadapi masa depan.
Mempelajari sejarah berarti mempelajari hubungan antara masa lampau, masa kini
dan masa yang akan datang.
Suryo ( Isjoni : 38 ) mengatakan
sejarah berdasarkan kegunaannya terdiri dari sejarah empiris dan sejarah
normatif. Sejarah empirik menyajikan substansi kesejarahan bersifat empirik dan
akademik untuk tujuan ilmiah, sejarah normatif menyajikan substansi kesejarahan
berdasarkan ukuran nilai dan makna sesuai dengan tujuan penggunaan yang
bersifat normatif.
Pembelajaran sejarah sebagai sejarah
normatif, substansi dan tujuannya ditujukan pada segi – segi normatif, yaitu
nilai dan makna sesuai tujuan pendidikan. Kegunaan pembelajaran sejarah bagi
siswa menurut Hill ( Isjoni : 39 – 40 ) adalah :
a.
Secara unik memuaskan rasa ingin tahu dari anak tentang orang lain,
kehidupan, tokoh – tokoh, perbuatan dan cita – citanya, yang dapat menimbulkan
gairah dan kekaguman.
b.
Lewat pembelajaran sejarah dapat diwariskan kebudayaan dari umat manusia,
penghargaan terhadap sastra, seni serta cara hidup orang lain.
c.
Melatih tertib intelektual, yaitu ketelitian dalam memahami dan ekspresi,
menimbang bukti, memisahkan yang penting dari yang tidak penting, antara
propaganda dan kebenaran.
d.
Melalui pelajaran sejarah dapat dibandingkan kehidupan zaman sekarang
dengan masa lampau.
e.
Pelajaran sejarah memberikan latihan dalam pemecahan masalah – masalah atau
pertentangan dunia masa kini.
f.
Mengajar siswa unuk berpikir sejarah dengan menggunakan metode sejarah,
memahami struktur dalam sejarah, dan menggunakan masa lampau untuk mempelajari
masa sekarang dan masa yang akan datang.
g.
Mengajar siswa untuk berpikir kreatif.
h.
Untuk menjelaskan masa sekarang ( belajar bagaimana masa sekarang,
menggunakan pengetahuan masa lampau untuk memahami masa sekarang untuk membantu
menyelesaikan masalah – masalah kontemporer).
i.
Untuk menjelaskan sejarah bahwa status apapun hari ini adalah hasil
dari apa yang terjadi di masa lalu, dan pada waktunya apa yang terjadi hari ini
akan mempengaruhi masa depan.
j.
Menikmati sejarah
k.
Membantu siswa akrab dengan unsur – unsur dalam sejarah.
Meulen ( Isjoni : 40 ) mengatakan
pembelajaran sejarah disekolah bertujuan membangun kepribadian dan sikap mental
anak didik, membangkitkan keinsyafan akan suatu dimensi fundamental dalam
eksistensi umat manusia ( kontinuitas gerakan dan peralihan terus menerus dari
lalu ke arah masa depan), mengantarkan manusia ke kejujuran dan kebijaksanaan
pada anak didik, dan menanamkan cinta bangsa dan sikap kemanusian.
Pentingnya pembelajaran sejarah di
sekolah – sekolah diakui semua bangsa dan negara, karena pembelajaran sejarah
merupakan sarana untuk mensosialisasikan nilai – nilai tradisi bangsa yang
sudah teruji dengan waktu, memahami perjuangan dan pertumbuhan bangsa dan
negara, baik secara fisik, politik, dan ekonomi sekaligus mendidik sebagai
warga dunia yang sangat peduli kepada pentingnya pemahaman terhadap bangsa –
bangsa lain ( Isjoni, 2007 : 47 ). Oleh karena itu, tidak ada satu bangsapun di
dunia ini yang di dalam kurikulum sekolahnya tidak membahas materi sejarah.
Apakah materi itu bull in dalam pelajaran pendidikan IPS ( social studies )
ataupun sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1.Bagaimanakah
konsep dasar kreativitas?
2.Bagaimanakah
Kreativitas pembelajaran sejarah?
3.BagaimanakahMakna
pembelajaran sejarah?
4. Bagaimanakahmembangun
nilai kepahlawanan?
1.3 Tujuan
Ø Untuk mengetahui konsep dasar kreativitas.
Ø Untuk
mengetahui kreativitas pembelajaran sejarah.
Ø .Untuk
mengetahui makna pembelajaran sejarah.
Ø Untuk
mengetahui bagaimana membangun nilai kepahlawanan
1.4 Manfaat
Ø Dapat mengetahui konsep dasar kreativitas.
Ø Dapat mengetahui kreativitas
pembelajaran sejarah.
Ø Dapat mengetahui makna
pembelajaran sejarah.
Ø Dapat mengetahui bagaimana
membangun nilai kepahlawanan
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Kreativitas
Walaupun
ada pengakuan ilmiah terhadap pentingnya kreativitas, namun hingga kini hanya
sedikit sekali penelitian yang telah dilakukan.Hal itu disebabkan adanya
kesulitan metodologi dan karena adanya keyakinan bahwa kreativitas adalah suatu
faktor bawaan individual sehingga hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk
mengendalikannya.
Beberapa pengertian kreativitas
menurut para ahli, diantaranya ;
a. Utami
Munandar (1995 : 25) kreativitas adalah suatu kemampuan umum
untuk menciptakan suatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan
gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau
sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang
sudah ada sebelumnya.
b. Imam
Musbikin (2006 : 6) kreativitas adalah kemampuan memulai ide,
melihat hubungan yang baru, atau tak diduga sebelumnya, kemampuan
memformulasikan konsep yang tak sekedar menghafal, menciptakan jawaban baru untuk
soal-soal yang ada, dan mendapatkan pertanyaan baru yang perlu di jawab.
c. Mangunhardjana
(1986 : 11) adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya berguna
(useful), lebih enak, lebih praktis, mempermudah, memperlancar, mendorong,
mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah, mengurangi hambatan, mengatasi
kesulitan, mendatangkan hasil lebih baik atau banyak.
d. Sternberg
(1988), kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut
psikologis, yaitu intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi.
e. Baron
(1969) yang menyatakan kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan atau
menciptakan sesuatu yang baru.
f. Supriyadi
dalam Yeni Rachmawati dan Euis Kurniati (2005 : 15) mengutarakan bahwa
kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik
berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah
ada. Selanjutnya ia menambahkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan berpikir
tingkat tinggi yang mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam kemampuan
berpikir, ditandai oleh suksesi, diskontinuitas, diverensiasi, dan integrasi
antara setiap tahap perkembangan.
g. Clark
Moustakis (1967), ahli psikologi humanistic menyatakan bahwa
kreativitas adalah pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas
individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam,
dan dengan orang lain.
h. Rhodes,
umumnya kreativitas didefinisikan sebagai Person, Process, Press, Product.
Keempat P ini saling berkaitan, yaitu Pribadi (Person) kreatif yang melibatkan
diri dalam proses (Process) kreatif, dan dengan dorongan dan dukungan (Press)
dari lingkungan, menghasilkan produk (Product) kreatif.
i. Hulbeck
(1945), “ Creative action is an imposing of one’s own whole personality on the
environment in an unique and characteristic way”. Dimana tindakan kreatif
muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan
lingkungannya.
j. Haefele
(1962), kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru
yang mempunyai makna social.
k. Torrance
(1988), kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah,
membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan menguji dugaan
atau hipotesis, kemudian mengubah dan mengujinya lagi, dan akhirnya menyampaikan
hasil-hasilnya.
Dari berbagai
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjelaskan makna dari
kreativitas penulis mengambil kesimpulan bahwa kreativitas adalah kemampuan
menciptakan sesuatu yang baru, proses konstuksi ide yang dapat diterapkan dalam
menyelesaikan masalah, serta suatu kegiatan yang bermanfaat.
Adapun Definisi kreativitas
tergantung pada segi penekanannya, kreativitas dapat didefinisikan kedalam
empat jenis dimensi sebagai Four P’s Creativity, yaitu dimensi Person,Proses,
Press dan Product sebagai berikut :
1. Definisi
kreativitas dalam dimensi Person. Definisi pada dimensi person adalah upaya
mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada individu atau person dari
individu yang dapat disebut kreatif. “Creativity refers to the abilities that
are characteristics of creative people” (Guilford, 1950 dalam Reni Akbar-Hawadi
dkk, 2001). “Creative action is an imposing of one’s own whole personality on
the environment in an unique and characteristic way (Hulbeck, 1945 dikutip
Utami Munandar, 1999). Guilford menerangkan bahwa kreativitas merupakan
kemampuan atau kecakapan yang ada dalam diri seseorang, hal ini erat kaitannya
dengan bakat. Sedangkan Hulbeck menerangkan bahwa tindakan kreatif muncul dari
keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Definisi
kreativitas dari dua pakar diatas lebih berfokus pada segi pribadi.
2. Kreativitas dalam dimensi Process. Definisi pada dimensi
proses upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada proses berpikir
sehingga memunculkan ide-ide unik atau kreatif. “Creativity is a process that
manifest in self in fluency, in flexibility as well in originality of thinking”
(Munandar, 1977 dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001). Utami Munandar menerangkan
bahwa kreativitas adalah sebuah proses atau kemampuan yang mencerminkan
kelancaran, keluwesan (fleksibititas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta
kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci), suatu
gagasan. Pada definisi ini lebih menekankan pada aspek proses perubahan
(inovasi dan variasi). Dari pendapat diatas kreativitas sebagai sebuah proses
yang terjadi didalam otak manusia dalam menemukan dan mengembangkan sebuah
gagasan baru yang lebih inovatif dan variatif (divergensi berpikir).
3. Definisi Kreativitas dalam dimensi Press. Definisi dan
pendekatan kreativitas yang menekankan faktor press atau dorongan, baik
dorongan internal diri sendiri berupa keinginan dan hasrat untuk mencipta atau
bersibuk diri secara kreatif, maupun dorongan eksternal dari lingkungan sosial
dan psikologis. Definisi Simpson (1982) dalam S. C. U. Munandar 1999, merujuk
pada aspek dorongan internal dengan rumusannya sebagai berikut : “The
initiative that one manifests by his power to break away from the usual
sequence of thought” Mengenai “press” dari lingkungan, ada lingkungan yang
menghargai imajinasi dan fantasi, dan menekankan kreativitas serta inovasi.
Kreativitas juga kurang berkembang dalam kebudayaan yang terlalu menekankan
tradisi, dan kurang terbukanya terhadap perubahan atau perkembangan baru.
4. Definisi Kreativitas dalam dimensi Product. Definisi pada
dimensi produk merupakan upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada
produk atau apa yang dihasilkan oleh individu baik sesuatu yang baru/original
atau sebuah elaborasi/penggabungan yang inovatif. “Creativity is the ability to
bring something new into existence” (Baron, 1976 dalam Reni Akbar-Hawadi dkk,
2001). Definisi yang berfokus pada produk kreatif menekankan pada orisinalitas,
seperti yang dikemukakan oleh Baron (1969) yang menyatakan bahwa kreatifitas
adalah kemampuan untuk menghasilkan/menciptakan sesuatu yang baru. Begitu pula
menurut Haefele (1962) dalam Munandar, 1999; yang menyatakan kreativitas adalah
kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial.
Dari dua definisi ini maka kreatifitas tidak hanya membuat sesuatu yang baru
tetapi mungkin saja kombinasi dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya.
Dari berbagai
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjelaskan makna dari kreativitas
yang dikaji dari empat dimensi yang memberikan definisi saling melengkapi.
Untuk itu kita dapat membuat berbagai kesimpulan mengenai definisi tentang
kreativitas dengan acuan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli.Dari
beberapa uraian mengenai definisi kreativitas yang dikemukakan diatas peneliti
menyimpulkan bahwa : “Kreativitas adalah proses konstruksi ide yang orisinil
(asli), bermanfaat, variatif (bernilai seni) dan inovatif (berbeda/lebih
baik)”.
Strategi 4P
yaitu Pribadi, Pendorong, Proses, dan Produk yang menurut para ahli dapat
membantu mengembangkan kreatifitas anak jika diterapkan secara benar.Pada
dasarnya setiap anak memiliki kreativitas, hanya saja tidak semua anak bisa
mengembangkan kreatifitasnya dengan benar.Untuk itu diperlukan peran orang tua
dalam mengembangkan kreatifitas tersebut.Melalui strategi 4P ini diharapkan
dapat membantu orang tua dalam mengembangkan kreativitas anaknya.
a)
Pribadi
Hal pertama yang harus orang tua ketahui dalam upaya mengembangkan kreatifitas anak adalah dengan memahami pribadi mereka, diantaranya dengan :
Hal pertama yang harus orang tua ketahui dalam upaya mengembangkan kreatifitas anak adalah dengan memahami pribadi mereka, diantaranya dengan :
- Memahami bahwa setiap anak memiliki pribadi berbeda, baik dari bakat, minat, maupun keinginan.
- Menghargai keunikan kreativitas yang dimiliki anak, dan bukan mengharapkan hal-hal yang sama antara satu anak dengan anak lainnya, karena setiap anak adalah pribadi yang “unik”, dan kreatifitas juga merupakan sesuatu yang unik.
- Jangan membanding-bandingkan anak karena tiap anak memiliki minat, bakat, kelebihan serta ketebatasannya masing-masing. Pahamilah kekurangan anak dan kembangkanlah bakat dan kelebihan yang dimilikinya.
b)
Pendorong
Dorongan dan motivasi bagi anda sangat berguna bagi anak dalam mengembangkan motivasi instrinsik mereka, dengan begitu mereka akan sendirinya berkreasi tanpa merasa dipaksa dan dituntut ini itu, kita dapat melakukan :
Dorongan dan motivasi bagi anda sangat berguna bagi anak dalam mengembangkan motivasi instrinsik mereka, dengan begitu mereka akan sendirinya berkreasi tanpa merasa dipaksa dan dituntut ini itu, kita dapat melakukan :
- Berilah fasilitas dan sarana bagi mereka untuk berkreasi, misalnya melalui mainan-mainan yang bisa merangsang daya kreativitas anak misalnya balok-balok susun, lego, mainan alat dapur dan sebagainya. Hindari memberikan mainan yang tinggal pencet tombol atau mainan langsung jadi.
- Ciptakan lingkungan keluarga yang mendukung kreatifitas anak dengan memberikan susana aman dan nyaman.
- Hindari membatasai ruang gerak anak didalam rumah karena takut ada barang-barang yang pecah atau rusak, karena cara ini justru bisa memasung kreativitas mereka, alangkah lebih baik jika anda mau mengalah dengan menyimpan dahulu barang-barang yang mudah pecah ketempat yang aman, atau anda bisa meyediakan tempat khusus bermain anak, dimana anak bebas berkreasi.
- Disiplin tetap diperlukan agar ide-ide kreatif mereka bisa terwujud.
c)
Proses
Proses berkreasi merupakan bagian paling penting dalam pengembangan kreativitas dimana anak anda akan merasa mampu dan senang bersibuk diri secara kreatif dengan aktifitas yang dilakukannya, baik melukis, menyusun balok, merangkai bunga dan sebagainya, beberapa hal yang dapat dilakukan:
Proses berkreasi merupakan bagian paling penting dalam pengembangan kreativitas dimana anak anda akan merasa mampu dan senang bersibuk diri secara kreatif dengan aktifitas yang dilakukannya, baik melukis, menyusun balok, merangkai bunga dan sebagainya, beberapa hal yang dapat dilakukan:
- Hargailah kreasinya tanpa perlu berlebihan, karena secara intuisif anak akan tahu mana pujian yang tulus dan yang mana yang hanya akan basa-basi.
- Hindari memberi komentar negatif saat anak berkreasi, apalagi disertai dengan perintah ini itu terhadap karya yang sedang dibuatnya, karena hal ini justru dapat menyurutkan semangatnya berkreasi.
- Peliharalah harga diri anak dengan mengungkapkan terlebih dahulu komentar anda secara positif, misalnya “bunda senang adek bisa membuat menara seperti itu, lain kali adek buat yang lebih tinggi dan tidak mudah ambruk ya.” Dengan demikian anak akan merasa dirinya mampu dan dihargai lingkungannya
d)
Produk
Pada tahap ini anak sudah bisa menghasilkan produk kreatif mereka, yang bisa dilakukan:
Pada tahap ini anak sudah bisa menghasilkan produk kreatif mereka, yang bisa dilakukan:
- Hargailah hasil kreatifitas mereka meski hasilnya agak kurang memuaskan.
- Pajanglah karya anak anda di kamar mereka atau tempat-tempat lain yang memungkinkan. Dengan demikian, anak akan merasa bangga karena karyanya dihargai.
2.2 Kreativitas Pemebelajaran Sejarah
Membaca judul
di atas, barangkali ada yang ganjil terbersit dalam pikiran. Bukankah selama
ini saat belajar sejarah, kita hanya menemukan sesuatu yang monoton bahkan
cenderung membosankan. Hafalin nama tokoh, nama
tempat dan yang paling menyedihkan harus mengingat angka-angka tanggal yang tak
ada rumus pembagi atau pengurangnya, pokoknya hafal mati, titik! Hal ini jelas
sangat jauh dari kata kreatif yang tertera di judul tersebut.
Berpikir berbeda dari apa yang selama ini dimengerti memang tidak mudah, namun
tidak ada salahnya jika mencoba menelusuri guna mencari tahu; apa dan bagaimana
sebenarnya sejarah atau pelajaran sejarah itu semestinya dipelajari.
a. Hasil
Rekonstruksi masa lalu
Objek
kajian sejarah adalah masa lalu, utamanya berkenaan dengan apa yang dilakukan,
dipikirkan dan dihasilkan oleh manusia. Mengapa harus dipelajari? Ini berkaitan
dengan kepentingan masa kini, setidaknya agar manusia mengerti dan memahami
keberadaan dirinya. Karena apa yang terjadi di masa kini sangat berkaitan
dengan apa yang telah dilakukan oleh manusia di masa lalunya. Dan bagi masa
depan setidaknya hal tersebut dapat dijadikan acuan atau pembelajaran. Sehingga
kualitas hidup manusia dari waktu ke waktu menjadi lebih baik. Berdasarkan hal
tersebut maka poin utama dalam mempelajari sejarah adalah belajar tentang
nilai-nilai kehidupan dan kehidupan manusia di masa lalu sebagai sumber
belajarnya.
Rentang waktu
masa lalu sebagai objek kajian sejarah tidak terbatas. Sejam, sehari, seminggu,
sebulan, setahun, seabad, seribu atau bahkan sejuta tahun yang lalu, semuanya
adalah masa lalu. Sementara kita, sebagai orang yang mempelajari peristiwa di
masa lalu tersebut hidup di masa sekarang. Jika masa lalu yang akan dipelajari
itu belum lama, maka sumber yang dapat dipakai tentunya masih banyak. Namun
jika yang dikaji ribuan tahun yang lalu, tentu sumbernya sangat terbatas.
Bahkan seringkali hanya berupa benda, atau bekas-bekas aktivitas manusia yang
berserakan. Tak ada cerita apapun yang tersampaikan dari sisa-sisa tersebut.
Beruntung para sejarawan sudah melakukan rekonstruksinya untuk kita, namun
bukan berarti kita pun tak memiliki kebebasan untuk ikut juga menganalisis apa
yang telah terjadi dari sudut pandang yang dapat kita pahami.
b. Rekonstruksi
dan Berpikir kreatif
Seperti
apapun sisa yang didapat dari kehidupan masa lalu manusia itu, sejarawan
dituntut dapat mengungkapkan apa yang terjadi. Mulai dari peristiwa, pelaku,
motif, cara hidup atau apa saja dibalik sisa-sisa yang tertinggal tersebut.
Berperan seperti detektif, sejarawan melakukan rekonstruksi, yaitu membangun
kembali suasana kehidupan masa lalu dengan berdasarkan sumber yang tersedia.
Mereka mencoba menginterpretasi setiap sumber yang ada.
Pada konteks
inilah imajinasi diperlukan. Imajinasi sejarawan yang didasarkan data dan tentu
saja dukungan ilmu-ilmu yang lain digunakan untuk menghadirkan masa lalu yang
kemudian dibuatkan deskripsinya, dan pada akhirnya pembaca atau manusia masa
kini dapat mengerti seperti apa masa lalu di balik sisa-sisa peninggalan tersebut.
Realitas demikian tentu membutuhkan kreatifitas dalam berpikir, dan kreatifitas
seperti itu bukan merupakan monopoli sejarawan saja, melainkan bagi kita yang
mempelajari sejarah. Memadukan antara penggalan fakta yang satu dengan fakta
lainnya membutuhkan daya analisa yang membuat kita dicerdaskan. Belum lagi jika
kita juga turut mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi
namun belum diungkap oleh sejarawan penulisnya, pasti lebih mengasyikkan dan
hal seperti ini sangat dianjurkan dalam mempelajari sejarah. Sebab kebenaran
sejarah itu tidak tunggal.
Misalnya saja
saat kita mempelajari sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Mataram
Jaman Hindu-Budha). Peninggalan yang dapat dijadikan sumber bagi
pembahasan adalah candi Prambanan atau Borobudur. Dengan menggunakan imajinasi
kita bisa melakukan eksplorasi lebih lanjut, tidak sekedar mengetahui bahwa
kedua candi tersebut merupakan peninggalan kerajaan Mataram. Melalui
pertanyaan-pertanyaan kritis, kita bisa mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat
pada saat tersebut. Seperti; bagaimana candi itu di bangun, ukuran
seperti apa yang di gunakan, siapa yang merancang, siapa yang jadi pekerja,
bagaimana suplai logistic bagi para pekerjanya, dimana mereka tinggal,
bagaimana manajemen operasionalnya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa
di ajukan. Dengan imajinasi dan data yang tersedia kita dapat menjawab berbagai
hal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentu jawaban-jawaban yang ada adalah
jawaban spekulatif, dan perlu pembuktian melalui berbagai argument pembanding,
dan tidak kalah pentingnya adalah hal-hal yang bersifat akademis. Salah atau
benar jawaban yang bisa dimunculkan bukanlah hal terpenting, namun kemampuan
membingkai serpihan menjadi sebuah deskripsi yang bermakna menjadi lebih penting,
dan tentunya kreatifitas berpikir menjadi terasah.
”Bangsa yang
besar adalah bangsa yang mau dan mampu menghargai sejarah perjuangan para
pendahulunya”. Dalam konteks ini, sudahkan kita sebagai bangsa yang besar?
Benarkah kita sebagai bangsa sudah sangat perhatian dan menghargai para
pahlawan pejuang bangsa yang telah
mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan tanah air, masyarakat
dan Negara Indonesia? Dengan pertanyaan-pertanyaan
ini kitapun menjadi ragu dan termangu, apakah kita sudah termasuk bangsa yang
menghargai sejarah perjuangan para pahlawan kita sendiri, mengingat di antara
kita banyak yang tidak memahami sejarah perjuangan bangsa. Indikator yang terlihat salah satunya banyak
anggota masyarakat dan para remaja kita yang tidak senang, tidak berminat
dengan pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah di sekolah menjadi mata pelajaran
yang tidak menarik dan membosankan. Pelajaran sejarah dipandang menjadi pelajaran yang tidak penting, apalagi tidak di UN-kan.
Posisi mata pelajaran di sekolah dipandang sebagai mata pelajaran tambahan yang
dapat dibelajarkan oleh siapa saja. Mengapa demikian? Slaha satu sebabnya bisa
ditebak karena pembelajaran sejarah kita cenderung hafalan dan kurang bermakna
dalam kehidupan keseharian, yang berada di tengah-tengah dinamika
kehidupan masyarakat yang cenderung
konsumtif-materialistik. Hal ihwal termasuk mata ajar yang tidak terkait
langsung dengan soal materi dan ekonomi, tidak begitu diminati.
Pembelajaran
sejarah sebenarnya tidak sekedar menjawab pertanyaan what to teach, tetapi bagaimana proses pembelajaran itu
dilangsungkan agar dapat menangkap dan menanamkan nilai serta
mentransformasikan pesan di balik realitas sejarah itu kepada peserta didik.
Proses pembelajaran ini tidak sekedar peserta didik menguasai materi ajar,
tetapi diharapkan dapat membantu pematangan kepribadian peserta didik sehingga
mampu merespon dan beradaptasi dengan perkembangan sosio kebangsaan yang
semakin kompleks serta tuntutan global yang semakin kencang.
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini ternyata belum
seperti yang dicita-citakan. Peristiwa politik tahun 1998 yang telah mengakhiri
kekuasaan Orde Baru dengan berbagai euforianya ternyata menyisakan luka
mendalam di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berbagai bentuk pelanggaran masih terus terjadi. Tindakan kekerasan dan
pelanggaran HAM, perilaku amoral dan runtuhnya budi pekerti luhur, anarkhisme
dan ketidaksabaran, ketidakjujuran dan budaya nerabas, rentannya kemandirian
dan jati diri bangsa, terus menghiasai kehidupan bangsa kita. Semangat
kebangsaan, jiwa kepahlawanan, rela berkorban, saling bergotong royong di kalangan masyarakat kita mulai menurun.
Kita seperti telah kehilangan karakter yang selama beratus-ratus tahun bahkan
berabad-abad kita bangun. Pada kondisi yang seperti ini nampaknya pada moment
peringatah “Hari Pahlawan” kali ini menjadi menarik untuk mencoba kembali
menelaah kaitan antara pembelajaran sejarah dengan nilai-nilai kepahlawanan.
2.3 Makna Pembelajaran Sejarah
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pembelajaran sejarah sebenarnya
memiliki makna yang strategis.Pembelajaran
sejarah adalah suatu proses untuk membantu
mengembangkan potensi dan kepribadian
peserta didik melalui pesan-pesan sejarah agar menjadi warga bangsa yang arif dan
bermartabat. Sejarah dalam hal ini merupakan totalitas dari aktivitas manusia
di masa lampau (Walsh, 1967), dan sifatnya dinamis. Maksudnya, bahwa masa
lampau itu bukan sesuatu final, tetapi
bersifat terbuka dan terus berkesinambungan dengan masa kini dan yang akan
datang. Karena itu sejarah dapat diartikan sebagai ilmu yang meneliti dan mengkaji secara
sistematis dari keseluruhan perkembangan masyarakat dan kemanusiaan di masa lampau
dengan segala aspek kejadiannya, untuk
kemudian dapat memberikan penilaian sebagai pedoman penentuan keadaan
sekarang, serta cermin untuk masa yang akan datang.
Lebih jauh
pengertian sejarah juga berkait dengan persoalan kemanusiaan dan sebuah teater
di mana manusia menjadi pemain watak, berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan
keteladanan yang sudah ada. Sejarah akan
mendidik manusia untuk memahami “sangkan paran “ dan keberadaan dirinya
(Soedjatmoko, 1986) sehingga dapat memperkuat identitas diri dan identitas
nasional, atau identitas sebagai suatu bangsa. Dalam kaitan ini maka
pembelajaran sejarah berfungsi untuk
menumbuhkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah suatu orientasi
intelektual, dan suatu sikap jiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai
manusia, anggota masyarakat, dan sebagai suatu bangsa (Soedjatmoko, 1986).
Taufik Abdullah (1974) menegaskan bahwa kesadaran sejarah tidak lain adalah
kesadaran diri. Kesadaran diri dapat dimaknai sadar akan keberadaan dirinya
sebagai individu, sebagai makhluk sosial termasuk sadar sebagai bangsa dan
sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sardiman A.M., 2005). Dalam konteks ini
pada diri manusia sebenarnya ada dua dimensi, yakni dimensi kekhalifahan dan
dimensi kehambaan.
Dengan
pemahaman tersebut, pembelajaran sejarah
dituntut paling tidak dapat mengaktualisasikan dua hal yakni: (1) pendidikan
dan pembelajaran intelektual, (2) pendidikan dan pembelajaran moral bangsa, civil society yang demokratis dan bertanggungjawab kepada
masa depan bangsa (Djoko Suryo, 1991). Hal yang pertama menuntut pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan
pengetahuan faktual, namun dituntut untuk memberikan latihan berfikir kritis,
mampu menarik kesimpulan, memahami makna
dari suatu peristiwa sejarah menurut kaidah dan norma keilmuan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa dan
bagaimana, penting untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran sejarah. Sementara itu hal yangkedua menunjuk pada pembelajaran sejarah yang berorientasi pada
pendidikan kemanusiaan yang memperhatikan nilai-nilai luhur, norma-norma, dan
aspek kemanusiaan lainnya.
Dengan
mengembangkan dua hal : pendidikan intelektual dan pendidikan moral atau pendidikan kemanusiaan, maka arah
pembelajaran sejarah diharapkan dapat mencapai tujuan yang menopang tercapainya
tujuan pendidikan nasional. Pembelajaran sejarah akan dapat melandasi
pendidikan kecerdasan intelektual, sekaligus ikut mendasari pendidikan yang
berorientasi pada kecerdasan emosional bahkan kecerdasan spiritual dalam rangka
meningkatkan martabat manusia Indonesia. Dalam pelaksanaan di sekolah, tujuan pembelajaran sejarah tersebut terkait
dengan adanya tujuan yang dikenal dengan
istilah instructional effects dan
tujuan yang “mengikuti” atau tujuan
lebih lanjut yang disebut nurturant
effects (uraian selengkapnya lih.dalam Sardiman AM.,2005). Mencermati rumusan
tersebut, nampak jelas bahwa di samping aspek kognitif, dimensi afektif
menempati porsi yang cukup penting dalam tujuan pembelajaran sejarah. Namun
dalam kenyataannya timbul kritik bahwa pendidikan kita cenderung
intelektualistik dan lebih banyak bersifat kognitif.
Begitu juga
dalam pembelajaran sejarah masih cukup memprihatinkan. Pembelajaran sejarah
lebih banyak hafalan dan bersifat kognitif.
Akibatnya pembelajaran sejarah tidak mampu menjangkau kepada aspek-aspek
moralitas, menyangkut kecerdasan emosional dan spiritual. Pembelajaran
sejarah kita masih jarang yang mampu memasuki wilayah ranah afektif, seperti
sikap arif, menumbuhkan semangat kebangsaan, bangga terhadap bangsa dan
negerinya, apalagi sampai memahami hakikat dirinya sebagai manifestasi
kesadaran sejarah yang paling tinggi, sehingga memunculkan sikap dan tindakan
sebagaimana dicontohkan oleh para pejuang dan pahlawan kita.
2.4 Membangun Nilai Kepahlawanan
Pembelajaran sejarah, akan mengembangkan aktivitas
peserta didik untuk melakukan telaah berbagai peristiwa, untuk kemudian
dipahami dan diinternalisasikan kepada dirinya sehingga melahirkan contoh untuk bersikap dan bertindak. Dari sekian
peristiwa itu antara lain pula ada pesan-pesan yang terkait dengan nilai nilai
kepahlawanan seperti keteladanan, rela
berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan, nasionalisme
dan patriotisme (lih. Kabul Budiyono, 2007). Beberapa nilai ini dapat digali dan dikembangkan melalui
pembelajaran sejarah yang bermakna . Untuk itu memang
sangat dituntut adanya kreativitas dari para guru sejarah.Para guru sejarah
harus menggali dan mampu mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta
didik.
Di dalam pelajaran sejarah banyak pokok bahasan atau
topik-topik yang mengandung nilai-nilai kesejarahan tersebut. Misalnya ketika
sedang membahas periode penjajahan,
sangat tepat untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai jati diri dan hak-hak
individu atau hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai
nasionalisme dan patriotisme. Bagaimana perlawanan yang dilancarkan oleh Sultan
Agung, oleh Pangeran Diponegara, oleh Cut Nyak Dhien. Tokoh-tokoh ini berjuang
tanpa pamrih demi kebebasan tanah tumpah darahnya, demi membela rakyat yang
menderita akibat kekejaman kaum penjajah. Harta, jiwa dan raga dipertaruhkan
demi tegaknya harga diri dan kedaulatan sebagai bangsa Berbagai bentuk
perjuangan ini secara dikotomis dapat diaktualisasikan nilai-nilai kemerdekaa. “ Kemerekaan ialah hak segala bangsa, oleh
karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”. Satu kalimat dari Pembukaan UUD 1945 ini
secara kreatif dapat dibahas satu atau dua kali pertemuan. Para peserta didik
diajak untuk memahami dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan diri, nilai-nilai
perikemanusiaan dan nilai keadilan untuk kemudian menjadi bagian dari sikap dan
perilakunya. Dalam hal ini guru dituntut untuk mampu menjelaskan dan meyakinkan
kepada peserta didik agar meresapi bahwa tindakan kaum penjajah di bumi
Nusantara sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai
keadalilan sebagai hak-hak asasi manusia.
Hak-hak individu yang paling asasi dirampas. Tidak ada kebebasan
berserikat, tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat dan memeluk agama secara
utuh. Padahal Tuhan menciptakan setiap
bangsa, setiap manusia anggota masyarakat dalam keadaan sama, kecuali karena
kadar keimanannnya. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling
sempurna dengan kedudukan mulia yakni sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi
yang bertugas membangun dunia demi kemaslahatan semua orang. Jadi penjajahan
sangat jelas bertentangan dengan fitrah dan ciptaan Tuhan. Membahas topik-topikpada
periode penjajahan ini, peserta didik juga dapat diajak untuk menghayati dan
menumbukan sikap patriotisme, sikap dan tindakan anti penjajahan. Harus
diyakinkan kepada peserta didik bahwa tindak penajajahan itu adalah perilaku
dholim karena menyengsarakan rakyat banyak. Dalam konteks ini dapat
diaktualisasikan konsep jihad, “dan barang siapa berjihad di jalan Tuhan, surga
adalah pahalanya.”
Pembahasan
topik-topik yang berkenaan dengan periode pergerakan nasional, guru perlu
menekankan nilai-nilai nasionalisme, persatuan dan kesatuan di antara
pluralisme atau keanekaragaman, toleransi dan saling menghargai. Bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan. Tuhan telah
menciptakan ini semua sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa. Tuhan telah
mengajarkan kepada kita bahwa diciptakan-Nya manusia bersuku-suku dan
golongan-golongan agar kita saling mengenal dan menjalin tali silaturakhim.
Kalau sudah demikian maka dengan didorongkan oleh keinginan luhur yakni
cita-cita ingin merdeka, maka terwujudlah persatuan dan kebersamaan. Usaha
untuk mewujudkan persatuan ini berhasil dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda yang
menyatakan satu tanah air, satu bangsa: Indonesia, dan menjunjung bahasa
persatuan yakni Bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi simbol kebersamaan
dalam keanekaragaman dan sekaligus memberikan semangat untuk menggalang
persatuan demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Sumpah Pemuda adalah ujud
nyata dari silaturakhim nasional, “dan barang siapa yang mau menghidup-hidupkan
silaturakhim maka akan dipanjangkan usianya dan diluaskan rezekinya.” Inilah
konsep nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai moral, nilai-nilai
keagaaman yang oleh Toynbee dikatakan sebagai nasionalisme yang dibimbing oleh
nilai-nilai universal agama-agama atas (higher
religions) (lih. A. Syafii Maarif, 1989).
Nasionalisme yang tidak dibimbing oleh nilai-nilai moral keagamaan,
dapat terjebak pada dua kecenderungan. Pertama,
nasionalisme yang sekuler, ekstrim berlebihan yang dapat melahirkan
chauvinisme. Bentuk nasionalisme inilah yang dikritik oleh Toynbee, karena
telah menyebabkan berkobarnya PD II yang
menghancukan peradaban manusia. Kedua, nasionalisme
yang lemah sehingga menjadikan pendukungnya tidak memiliki kebanggaan nasional
dan jati diri bangsa. Yang kedua ini sangat erat kaitannya dengan model
pembelajaran yang hanya kognitif. Guru secara kreatif dapat membahas materi
ini, misalnya dengan topik “Telaah Teks Sumpah Pemuda”
Selanjutnya
untuk membahas topik-topik yang terkait dengan materi ajar pada periode
kemerdekaan, guru dapat mengaktualisasikan dan menanamkan nilai-nilai esensial
yang relevan kepada para peserta didik, seperti nilai-nilai kemedekaan,
kemandirian dan kebebasan yang bertanggung jawab, patriotisme, masalah
kepemimpinan dan keteladanan, yang telah dipertunjukkan oleh para pejuang dan
pahlawan nasional kita. Agar lebih menumbuhkan kesadaran dan merangsang emosi
peserta didik, guru sebagai fasilitator dan motivator dapat membelajarkan
peserta didik untuk menelaah biografi tokoh pejuang atau pahlawan tertentu,
misal Bung Karno, Bung Hatta, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Sultan Hamengku
Buwono IX untuk mendapatkan nilai-nilai kejuangan, kepemimpinan dan
keteladanan.
Pembelajaran
topik-topik dan nilai-nilai pada periode kemerdekaan itu akan lebih “dahsyat”
(sangat bermakna), apabila guru secara kreatif mau memberi sentuhan dan atau
menggunakan perspektif spiritualisme atau nilai-nilai moral. (Uraian di atas
sebenarnya sudah banyak disinggung). Contoh ilustrasi tentang kemerdekaan.
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Kemerdekaan fitrah dan hak asasi manusia
sebagai ciptaan Tuhan. Karena itu wajar kalau bangsa Indonesia berusaha dengan
segala daya, dengan penuh pengorbanan baik jiwa, raga maupun harta. Dengan
semboyan “merdeka atau mati” dan disertai dengan semangat jihad, bangsa
Indonesia akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk sebuah
kemerdekaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hal yang
sangat asasi dan tahapan sangat penting bagi eksistensi suatu bangsa.
BAB III. PENUTUP
3.l Kesimpulan
Demikian beberapa
ilustrasi bagaimana mengembangkan materi dan melaksanakan pembelajaran sejarah
untuk menghidupkan nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan. Banyak materi
pembelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk membangun nilai-nilai kepahlawanan
itu. Tentu hal ini sangat menuntut
keberanian dan kreativitas guru. Guru
perlu merubah pembelajaran sejarah yang kognitif menjadi pembelajaran yang
lebih bermakna, kontekstual, dan menyentuh aspek-aspek afektif atau kecerdasan
emosional, serta kecerdasan spiritual. Pembelajaran sejarah yang bersifat
kognitif hanya akan melahirkan kepuasan dengan durasi sesaat, sebaliknya
pembelajaran sejarah yang mampu melatih kecerdasan emosional dan spiritual,
akan melahirkan kesadaran sejarah yang sejati, dan dapat mengaplikasikan
nilai-nilai kejuangan dari para pahlawan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafii Maarif,
(1989). “Menggugat Toynbee”,
dalam Eksponen, edisi 5 Maret 1989. Juga lihat Ahmad Syafii Maarif
(1985), Al Qur’an : Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung:
Pustaka.
Djoko Suryo(1996). “Pengembangan Kajian Sejarah dalam
Kurikulum SLTA” Makalah, disampaikan pada acara seminar dalam rangka Dies
Natalis IKIP Semarang, 13 Maret 1991.
Kabul Budiyono, (2007). Nilai-nilai Kepribadian dan
Kejuangan Bangsa Indonesia, Bandung : Alfabeta.
Sardiman AM. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar
. Jakarta: Rajawali Pers.
Soedjatmoko (1986). Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES
Taufik Abdullah
(1974). “Masalah Sejarah Daerah dan Kesadaran Sejarah”, BulletinYapernaNo.
2 tahun I, Jakarta: hal. 10.
Walsh, W.H. (1967). Philosophy of History : An Introduction.
New York: Harper and Row Publisher.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar